Pages

  • Beranda

Dymi Marsa Levina Cahyarani

dymimarsa04@gmail.com

Sampul Judul Tugas Komunikasi


NIM : 165120200111024
Kode Mata Kuliah/Kelas :            /B-KOM-4
Nama Mahasiswa : Dymi Marsa Levina Cahyarani
Nama Mata Kuliah : Teori public relations

Dosen : Rachmat Kriyantono, Ph.D
Batas pengumpulan tugas : 27 Maret 2018
Judul Tugas :  
Analisa Deskripsi Studi Kasus dengan Teori-teori Public Relations
Perpanjangan diterima: Ya / Tidak
Persetujuan terlampir : Ya / Tidak
Dengan ini saya / kami menyatakan :
· Bahwa ini adalah karya asli saya / kamu, dan tidak ada bagian dari tugas yang dikopi dari sumber atau orang lain kecuali jika telah tecatum dalam referensi.
· Tidak ada bagian dari karya ini yang sudah pernah dikumpulkan kepada institusi ini atau institusi lainnya.
· Jika terbukti bahwa saya / kami melakukan kecurangan dan pernyataan palsu, maka saya / kami siap menerima konsekuensi yang berlaku.






Tanda tangan : Tanggal : 27 Maret 2018

Analisa Deskripsi Studi Kasus dengan Teori-teori
Public Relations

Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Teori-teori public relations
Dosen Pengampu : Rachmat Kriyantono, Ph.D




Disusun oleh :
Dymi Marsa Levina Cahyarani
165120200111024



Jurusan Ilmu komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
2018

KASUS 1

Analisa kasus terhadap Badrun sebagai mahasiswa magang public relations di Hotel Savanah menggunakan salah satu teori dasar. Dalam hal ini, Badrun diminta melakukan kliping opini pembaca dan melakukan analisa terhadap berita-berita surat kabar di Malang. Tentu saja sebagai seorang public relations, para praktisi harus bersifat peka terhadap kondisi publiknya. public relations memiliki tanggung jawab organisasi atas publiknya sehingga praktisi public relations disini mewakili suatu organisasi. Dalam teori sistem, organisasi diindikasikan sebagai sebuah subsistem dari suatu sistem sosial yang lebih kompleks (Kriyantono, 2014, h 77). Teori sistem itu sendiri menjelaskan esensi dasar kehidupan, seperti pentingnya berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Berarti sebuah organisasi juga perlu untuk melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya.
Berbicara tentang sistem,Kriyantono, 2014 menjelaskan bahwa organisasi sebagai suatu sistem mesti beradaptasi dan menesuaikan perilakunya terhadap perubahan di alam lingkungannya. Seperti pula yang dikatakan oleh Charles Darwin, bahwa organisme berkembang dan beradaptasi dengan tekanan dari luar, hal ini lah pula yang perlu dilakukan oleh organisasi. Teori sistem membicarakan tentang hubungan antar subsistem yang terjadi di dalam organisasi, baik subsistem yang berasal dari internal organisasi maupun eksternal organisasi. Dalam praktik public relations, menjaga hubungan baik antar keduanya adalah sangat perlu. Mengapa demikian? public relations sebagai salah satu posisi yang penting dalam memerhatikan publiknya demi keberlangsungan organisasi. Untuk menganalisa kasus diatas misalnya, yang dilakukan Badrun adalah salah satu tugas public relations untuk memerhatikan aktivitas subsistem eksternal organisasinya. Sebagai suatu kesatuan sistem yang utuh, organisasi juga harus mampu memahami kondisi eksternalnya.
Dalam studi kasus diatas, Badrun melakukan salah satu fungsi public relations yang disebut dengan boundary spanning. Dalam praktiknya, “public relations melakukan interaksi dengan lingkungannya untuk monitoring, seleksi, dan menghimpun infomasi” (Kriyantono, 2014, h 86). Informasi ini kemudian digunakan untuk berbagai aktivitas di dalam organisasi, misalnya dalam menentukan arah kebijakan Hotel Savanah atau penentuan strategi marketing kedepannya. Dengan mengetahui situasi atau melakukan monitoring terhadap publik eksternal, tentunya pengambilan keputusan oleh koalisi dominan akan semakin mudah dan tepat sasaran sehingga efektivitas pekerjaan dapat tercapai. Misalnya saja pada strategi marketing, dalam berbagai pemberitaan media telah marak adanya cafe romantis yang didirikan di rooftop sebuah hotel. Jika saja informasi ini sampai pada bagia marketing, tentu akan ada berbagai strategi bisnis yang bisa dilakukan untuk menghadapi persaingan, seperti membuat garden rooftop khusus acara pernikahan.
Tak hanya itu, sebenarnya monitoring media yang dilakukan oleh public relations Hotel Savanah dan Badrun digunakan untuk mencegah beberapa isu ataupun krisis yang ditakutkan terjadi. Misalnya saja, melalui monitoring media, public relations bisa melihat beberapa isu yang nantinya bisa berpotensi menimbulkan masalah terhadap organisasinya, dan kemudian dapat memberikan berbagai rekomendasi penyelesaian atas masalah yang nantinya timbul. public relations dapat membaca keinginan publiknya melalui opini-opini yang ada. Misalkan saja, ada opini yang muncul di surat kabar tentang pengalamannya menginap di Hotel A karena pelayanan yang kurang on-time atau tempat parkir yang sempit. Sehingga, sebelum masalah tersebut juga muncul di Hotel Savanah, public relations sudah menyampaikan isu terkait yang juga berpotensi dan dapat mencegah masalah muncul. Hal ini lah kemudian yang membantu organisasi untuk mencegah komplain sedini mungkin. Pemantauan berita selama tiga bulan merupakan sesuatu yang lazim dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat berita-berita hangat yang kian muncul. Misalnya saja dalam tiga bulan terakhir marak adanya pencurian mobil. Melalui media monitoring inilah kemudian public relations bisa menyampaikan pada CEO terkait informasi yang marak diberitakan sehingga pihak hotel aware terhadap pencurian mobil demi menjaga kenyamanan konsumennya. Selain itu, misalkan pada saat terorisme sedang marak di Indonesia, hal ini juga sampai ke media-media dan menjadi kekhawatiran tersendiri untuk wisatawan menginap di hotel. public relations segera menyampaikan informasi penting untuk kemudian dibuat kebijakan sehingga dapat menimbulkan rasa nyaman pada konsumen maupun calon konsumen. Misalnya saja pemeriksaan mobil yang cukup ketat, pemeriksaan koper dengan teknologi X-ray dan masih banyak lagi. Fungsi seperti inilah yang kemudian dapat membantu organisasi dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kerap berubah, dan organisasi harus mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan sosialnya.
Aktivitas boundary spanning inilah yang kemudian sangat membantu keberlangsungan organisasi menjadi sistem. Dimana di dalamnya, organisasi juga memahami subsistem eksternalnya melalui public relations. “Disini praktisi public relations bertindak sebagai mitra manajemen untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan yang mungkin muncul” (Kriyantono, 2014, h 87). public relations juga dapat membantu dalam menentukan kebijakan-kebijakan karena praktisi public relations lebih mengetahui kondisi di luar karena pekerjaannya yang memang berada di dua kaki atau area “perbatasan” sehingga public relations lah yang langsung bersentuhan dengan lingkungan sosial dari organisasinya. Namun, untuk memenuhi kebutuhan ini public relations harus berada pada dominant-coalition. Hal ini juga bermanfaat dalam penyampaian informasi, yakni public relations tidak perlu melakukan pembatasan atau sensor terhadap informasi yang disampaikan. Jika public relations masih harus melakukan komunikasi vertikal melalui beberapa tahap, tentu akan menyulitkan penyampaian informasi karena ditakutkan informasi yang disampaikan kepada satu level diatasnya akan memengaruhi kinerja subsistem tersebut. Misalkan saja penyampaian informasi terkait isu tanda tangan kontrak hotel yang ambigu sehingga pihak sebelah membatalkan kontrak perjanjian, hal ini diterima oleh public relations melalui email keluhan. Ketika akan disampaikan pada CEO, isu ini harus disampaikan terlebih dahulu melalui sekretaris, padahal permasalahan utama justru ada pada sekretaris. Tentu hal ini tidak etis melihat bahwa sekretaris berada di atas public relations dan juga akan memengaruhi kinerja karyawan seperti stress atau merasa bersalah.

KASUS 2

Dalam berjalannya suatu organisasi, publisitas media akan pasti terjadi. Terlebih jika organisasi tersebut telah besar namanya atau bahkan menjadi salah satu pioneer dalam masyarakat sekitar dan menunjang kehidupan sosial. Bahkan segala perubahan dapat dijadikan sorotan media. Dalam studi kasus kedua ini disebutkan bahwa kebijakan Universitas Brawijaya yang kemudian mendapatkan publisitas media. Sebagai universitas atau organisasi yang mencakup wilayah yang besar bahkan sangat memengaruhi keberadaan sekitar Kota Malang, perubahan tersebut mampu menarik wartawan media untuk kemudian dijadikan bahan berita. Dalam hal ini public relations adalah salah satu jalan informasi media terhadap organisasi berkaitan.
Humas atau hubungan masyarakat memiliki tanggung jawab atas publik eksternal maupun internal dengan organisasinya. Studi kasus diatas menyebutkan keterkaitan antara publik eksternal dengan organisasi terkait kebijakannya melalui humas. Sebagai humas tentu saja informasi yang diberikan haruslah sepadan dan sesuai dengan permintaan publiknya sehingga tidak terjadi kesalah pahaman saat berkomunikasi. Dalam studi kasus diatas, jawaban yang diberikan oleh humas UB adalah kurang memberikan informasi. Perilaku yang demikian dapat menyebabkan hal-hal yang lain kemungkinan terjadi dan bahkan mempengaruhi kinerja organisasi maupun citra organisasi. Dalam buku Kriyantono, 2014 hal seperti ini dibahas dalam teori uncertainty tentang ketidakpastian. Teori ini menyebutkan bagaimana humas sudah seharusnya menjadi salah satu saluran komunikasi publik eksternal dengan organisasinya, Ketidakpastian diatas muncul karena humas UB sama sekali tidak memberikan komentar yang ada kaitannya dengan kasus. Ketidakpastian ini muncul akibat ketidakmampuan seseoang untuk memprediksi atau menjelaskan sesuatu (Kriyantono, 2014, h 141). Berbahaya nya pada pengaruh organisasi adalah ketika seseorang merasa mendapat ketidakpastian, mereka akan cenderung mencari informasi untuk kemudian mengurangi level ketidakpastiannya. Semakin tinggi level ketidakpastiannya, akan semakin tinggi pula intensitas seseorang dalam menggali informasi baik bentuk verbal maupun nonverbal, baik orang yang bersangkutan maupun bukan. Dalam hal ini, Kriyantono, 2014 menyebutkan pendapat Berger 1979, dikutip di Flanagin, 2007; Hammer, dkk., 1998 tentang beberapa cara yang biasa digunakan seseorang untuk mengurangi ketidakpastiannya yakni:
A. Strategi Pasif (social comparison)
Dilakukan dengan mengamati orang lain. Seseorang berupaya mengamati reaksi orang lain. Misalnya dalam studi kasus kedua ini adalah wartawan yang mengamati lingkungan Universitas Brawijaya terkait peraturan baru. Wartawan mendapatkan pengamatan bahwa masih banyak mahasiswa yang melanggar peraturan dengan merokok di area kampus bahkan dilakukan oleh staff UB sendiri. Dalam pemberitannya, wartawan juga akan ikut menyertakan bukti-bukti pengamatannya. Hal inilah yang kemudian berimbas buruk terhadap Universitas Brawijaya karena tidak adanya kontrol media. Tentu saja hal demikian terjadi akibat adanya ketidakpastian yang didapatkan oleh seorang wartawan dan dirinya melakukan pengumpulan informasi guna mengurangi level ketidakpastiannya. Namun sayang sekali jika yang didapati kemudian adalah hal yang berbau negatif yang berkaitan dengan organisasi.

B. Strategi Aktif (seeking information)
Dilakukan dengan mencari informasi melalui pihak ketiga. Misalnya dalam studi kasus ini adalah menanyakan pendapat mahasiswa terkait kebijakan terkait. Sebut saja mahasiswa A tidak menyetujui terkait dengan kebijakan, karena rokok adalah salah satu barang yang dikonsumsi untuk mengurangi rasa stress saat mengerjakan tugas. Ketika dilakukan pemberitaan oleh wartawan, informasi mahasiswa A akan diakitkan dengan UB. Dalam hal ini juga dapat berakibat buruk terhadap UB karena UB dianggap mengeluarkan kebijakan tanpa melihat kebutuhan publik internalnya.
C. Strategi Interaktif (verbal interrogative)
Dilakukan dengan bertanya langsung pada target komunikan. Dalam studi kasus kedua, strategi ini tidak mendapatkan jawaban yang efektif bahkan meningkatkan level pada ketidakpastian wartawan. Bahkan ucapan “saya minta izin pemimpin dulu” memiliki sebuah pertanyaan tersendiri. Apakah UB sudah bersifat tertutup dengan media yang dominan berhubungan langsung dengan masyarakat luas? Apakah pemimpin sekarang memiliki kebijakan yang diktator sehingga segala keputusan karyawan harus perintah dari atasan? Berbagai ambiguitas yang muncul ini akan mengakibatkan persepsi yang muncul dikalangan masyarakat. Sehingga, ketika salah satu strategi ini tidak memberikan jawaban, maka seseorang cenderung melakukan strategi lainnya guna mendapat informasi.

Beberapa aksioma juga terkait dengan studi kasus ini, misalkan saja tentang hubungan ketidak pastian yang semakin tinggi karena tingkat komnikasi verbal yang semakin rendah. Humas hanya mengatakan dua kalimat dan tidak memberikan kejelasan, apakah nantinya dia akan mengumumkan melalui press release atau melalui blog resmi dari website UB misalkan. Aksioma yang kedua adalah jika ketidakpastiannya berkurang, maka berkurang pula upaya pencarian informasi. Jika hal ini terjadi, maka tentu wartawan tidak akan melakukan strategi lainnya, karena jawaban dari humas UB sudah mampu mengurangi tingkat/level dari ketidakpastiannya. Sehingga fungsi humas dalam hal ini adalah memberikan informasi sejelas-jelasnya, terkait informasi tersebut rahasia atau tidak, setidaknya humas bisa memberikan kepastian pada wartawan. Seperti jawaban “sementara kebijakan sedang masa revisi dan kemudian diuji cobakan. Jika sudah valid, akan kami umumkan secara resmi terkait kebijakan baru kami di website” atau dengan “Tunggu saja ya di website resmi terkait surat edaran kebijakan”. Dengan demikian wartawan tentu akan mengetahui langkah selanjutnya seperti mengamati website organisasi UB untuk mendapatkan jawaban.

KASUS 3
Perilaku karyawan adalah salah satu problematika dalam organisasi terkait publik internalnya. Dalam sebuah organisasi tentu ada peraturan yang mengikat baik tertulis maupun tidak tertulis guna mengatur ataupun memberi batasan dan panduan terhadap karyawannya dalam bekerja. Peraturan ini juga didukung dengan keberadaan manager. Manager disebutkan sebagai salah satu aktor manajemen. Manajemen itu sendiri merupakan seni memotivasi orang lain agar melaksanakan apa yang dikendendaki si manajer (Kriyantono, 2014). Jika peraturan adalah sesuatu yang memberi panduan dan batasan, maka manajer adalah lakon yang memotivasi pekerjaan seseorang.
Dalam studi kasus diatas, Marmud adalah karyawan yang berprestasi serta memiliki produktivitas kerja yang tinggi dan kreatif. Sayangnya, Marmud bukan karyawan yang cukup baik dalam hal berinteraksi dengan internal nya sendiri, seperti bertengkar dengan rekan kerja, jarang bekerja dengan tim, dan sering membolos. Situasi ini dianalisa terkait kebutuhan dan keinginan apakah yang Marmud inginkan sehingga sikap memberontaknya tersebut dapat diminimalisir. Melihat deskripsi kasus terkait produktivitas kerja yang tinggi, rupanya lingkungan pekerjaan sudah cukup memadai seperti kebutuhan fisiologi makanan atau minuman yang cenderung mendukung tingkat ke kreatifan seseorang. Namun, komunikasi dengan rekan kerja adalah satu-satunya masalah yang kerap muncul dalam studi kasus diatas. Kali ini, studi kasus akan dianalisa menggunakan Teori Motivasi dan Gaya Manajerial, yakni teori yang membahas motivasi karyawan melalui style of management nya.
A. Teori Hierarki Kebutuhan
Teori yang dicetuskan oleh Maslow ini, karyawan akan termotivasi tinggi jika semua kebutuhannya disediakan oleh manajemen. Adapun kebutuhan menurut teori ini dianalogikan dalam segitiga, dengan tingkatan terendahnya adalah fisiologi, keamanan dan keselamatan, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan diri (self-esteem), dan kebutuhan aktualisasi diri. Fisiologi dan keamanan keselamatan adalah dua tingkatan terendah dari hierarki kebutuhan. Kedua kebutuhan tersebut sangat memengaruhi terhadap produktivitas karyawan. Sedangkan permasalahan yang terjadi pada studi kasus ini terjadi pada tahap ketiga dan keempat. Permasalahan tersebut yakni kebutuhan sosial seperti pergaulan dengan rekan kerja, kebutuhan interaksi dan kebutuhan self-esteem. Sebagai solusi dalam pemecahan masalah tersebut yakni memberikan fasilitas sehingga menjadi motivasi karyawan dalam bekerja. Misalnya saja memberikan rewarding sebagai salah satu penghargaan perusahaan terhadap karyawan berprestasi. public relations dapat mengadakan suatu pesta penghargaan khusus Marmud sebagai bentuk self-esteem nya dan mempersilahkan Marmud berbicara di depan banyak karyawan untuk ungkapan-ungkapannya. Kemudian di dalam pesta tersebut diadakan pula forum atau sekadar perbincangan biasa yang mendekatkan satu sama lain. Dalam hal ini, karyawan yang datang dalam penghargaan Marmud berarti ikut mengapresiasi prestasi Marmud dan Marmud sendiri menyadari akan apresiasi dari teman-teman kerjanya. Pengakuan ini lah yang kemudian nantinya dapat mengurangi konflik Marmud dengan karyawan lainnya.
B. Teori X dan Y
Teori yang dikemukakan oleh McGregor ini memiliki dua tipe yang berbeda. Dalam studi kasus diatas, teori Y adalah yang paling sesuai. Teori X tidak sesuai karena pemberian hukuman dan ancaman justru mampu memperparah keadaan, dimana Marmud nantinya akan terbebani dan stress sehingga tingkat turnover meningkat. Perusahaan akan kehilangan salah satu karyawan berprestasinya. Teori Y mengasumsikan tentang individu secara alami mempunyai keingin dan kebutuhan … (Kriyantono, 2014, h 247). Manager yang menggunakan teori Y akan memiliki anggapan bahwa tiap karyawan juga memiliki tujuan berbeda dan juga harus dipenuhi kebutuhannya. Ketika Marmud telah diketahui kebutuhannya, maka manager akan memenuhi kebutuhan Marmud sehingga Marmud kemudian termovitasi untuk kerja karena kebutuhan dalam lingkup kerjanya terpenuhi. “Tugas mengatur dan mengelola organisasi ini, diwujudkan oeh manajer yang menganut teori Y ini dengan cara bekerja bersama-sama karyawan untuk mencapai tujuan organisasi, mendorong karyawan untuk berpern serta dalam proses pengambilan keputusan, dan mendorong etos kerja menuju peningkatan prestasi” (Pace & Faules, 2001: 279, dalam Kriyantono, 2014, h 247)
C. Teori V
Teori ini berbicara tentang hubungan kedekatan antarpersonal manager dengan karyawannya. Dalam studi kasus Marmud, seorang manager dekat secara personal dengan Marmud. Pendekatan ini berfungsi sebagai interelasi dinamis dari orang-orang yangterlibat dalam proses pemberian dan pengaktualisasian perintah dan arahan (Kriyantono, 2014). Dalam artian bahwa, ketika Marmud sudah dekat sekali dengan manajernya, perilaku membolosnya bisa saja berkurang karena kedekatan antar keduanya yang menciptakan hubungan harmoni dan timbal balik menguntungkan. Ketika Marmud bolos misalnya, maka manager akan kesusahan dalam mengelola dan mengalihkan pekerjaan Marmud kepada karyawan lain sehingga hubungan antar keduanya juga tentu tidak baik. Kedekatan antarpersonal ini sangat memengaruhi bagaimana sikap atau perilaku karyawan terhadap pekerjaannya karena relasi yang erat.
D. Teori Kesehatan-Motivator
Teori yang digagas oleh Frederick Herzberg ini mengatakan tentang dua faktor kepuasan dan ketidakpuasan kerja yaitu, motivator dan kesehatan (Kriyantono, 2014, h 248). Motivator adalah meliputi sesuati hal terkait dengan pekerjaan seperti penghargaan, tanggung jawab, prestasi kerja. Kesehatan adalah sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan pekerjaan seperti kebijakan organisasi, kondisi lingkungan kerja, dan hubungan rekan kerja. Pada studi kasus diatas, hubungan rekan kerja adalah salah satu permsalahan yang muncul sehingga Marmud tidak bisa berelasi baik dengan teman-teman atau rekan kerjanya. Maka, public relations harus memberikan pengarahan yang baik sehingga timbul kepuasan dalam bekerja. Fungsi manajemenn disini adalah menjaga agar karyawan terus merasa puas. Sedangkan dalam hal ini Marmud terlihat belum puas, karena kebiasaan membolos nya cenderung memberontak dan bisa saja diakibatan lingkungan kerja yang belum sesuai menurut Marmud. Maka usaha yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan komunikasi terkait kepuasan Marmud dalam bekerja sebagai upaya pemenuhan kebutuhan yang bisa memotivasi Marmud untuk bekerja dengan baik.

KASUS 4

Studi kasus yang keempat memiliki kesamaan antar keduanya yakni pada pengaruh seorang tokoh. Dalam studi kasus ini dapat dilihat melalui berbagai teori, untuk yang pertama akan dibahas terlebih dahulu bagaimana pengaruh tokoh terhadap suatu organisasi. SDA maupun Professor yang namanya dijadikan nama gedung tentu memiliki pengaruh yang cukup besar sehingga nama keduanya mampu mempengaruhi suatu organisasi. Dalam teori strukturasi dikatakan bahwa struktur dalam oganisasi merupakan ciri khas suatu organisasi, misalnya … struktur organisasi yang memuat pengaturan orang-orang dalam hierarki tertentu … (Poole & McPhee, 2005 dalam Kriyantono, 2014). Hierarki menjelaskan koalisi dominan sebuah posisi yang segala tindakannya dapat berpengaruh dalam organisasi. Tanpa memandang posisi atau jabatan, seseorang sebenarnya juga dapat berpengaruh dalam organisasi. Disebutkan dalam asumsi teori strukturasi yakni agency. Agency adalah aktor (agen) yang menentukan pilihan sendiri atas perilakunya (Kriyantono, 2014). Dalam hal ini, anggota dalam organisasi juga memiliki ruang geraknya sendiri untuk berkembang dan memaknai lingkungannya.  Proses mengarahkan strukturasi ini tidak dimaksudkan untuk membatasi gerak anggota organisasi tetapi untuk mencapai keseimbangan kerja (Kriyantono, 2014). Studi kasus diatas memberikan salah satu contoh agency seseorang pada sebuah perusahaan. SDA sebagai anggota partai politik tentu memiliki ruang geraknya sendiri namun telah out-of-track dari tujuan partai politiknya, bahkan dianggap tidak sesuai atau tidak sejalan dengan partai politiknya. Sedangkan professor yang namanya dijadikan nama sebuah gedung adalah salah satu agency yang bersifat positif. Disini professor telah melakukan pilihannya dengan baik dengan berbekal pengetahuan dari pengalaman hidupnya dan mampu melakukan refleksi diri, sehingga organisasi memberikan “reward” dengan penamaan gedung menggunakan namanya.
Dengan melihat respon yang diberikan pada studi kasus diatas, maka kita dapat menganalisanya melalui teori situasional. Teori ini berbicara tentang bagaimana seorang public relations memahami karakteristik publiknya. Publik yang dimaksudkan dalam teori yang digagas oleh James E. Grunig ini adalah jurnalis, karyawan, konsumen, investor, pemerintah, atau komunitas lokal (Kriyantono, 2014). Dalam studi kasus ini, publik yang disasar adalah karyawan maupun komunitas lokal yang secara langsung menonton aksi kampanye, dan pada studi kasus FISIP publik yang disasar adalah karyawan maupun mahasiswa (Internal). Grunig, 1979 membagi populasi umum menjadi tiga macam tipe publik yaitu :
- Publik tersembunyi (latent public): sekelompok dengan permasalahan yang sama tetapi tidak dapat mengidentifikasi permasalahan sehingga tidak memberikan respons
- Publik teridentifikasi (aware public): perkembangan dari latent public namun kemudian dapat menyadari suatu permasalahan dan memiliki kecenderungan untuk komplain
- Publik aktif (acive public): adalah sekelompok orang yang merespons permasalahan dan memberikan opininya atau menggunakan aksi tertentu sebagai bentuk komplainnya.
Kedua studi kasus memiliki publik yang aktif, yakni memberikan bentuk protes atau tidak setuju terhadap perilaku SDA dan menanyakan dasar dari penamaan gedung FISIP itu sendiri. Tugas praktisi public relations disini adalah memberikan umpan balik akibat dari bebergai respon yag diberikan oleh active public. Pengelompokkan publik seperti ini kemudian juga berguna bagi public relations untuk menyusun strategi komunikasi yang sesuai dengan melihat kebutuhan publik.
Berbicara mengenai strategi komunikasi yang tepat untuk menghadapi publik, maka akan berbicara mengenai teori apologia. Dalam studi kasus keempat disebutkan beberapa respon publiknya yang menandakan terjadinya sebuah krisis dalam organisasi. “Krisis dapat saja terjadi setiap saat dan penyebabnya pun dapat berupa apa saja, bahkan meskipun suah diantisipasi masih terbuka celah terjadi krisis” (Seeger Sellnow & Ulmer, 2001, dikutip di Robert, 2006 dalam Kriyantono, 2014). Strategi yang dapat digunakan oleh masing-masing organisasi baik partai politik dan FISIP adalah teori apologia. Strategi apologia menurut Dionisopolous & Vibbert, 1988 dan Ware & Linkugel, 1973 dalam Kriyantono, 2014 yang sesuai untuk partai politik adalah strategi menolak atau menyangkal (deny strategy). Disebutkan dalam studi kasus pula bahwa tindakan SDA adalah tidak mewakil partai politik sama sekali. Ketika SDA sudah melakukan tindakan tersebut, tentu saja persepsi masyarakat adalah partai politik yang diikuti oleh SDA juga mendukung Prabowo. Namun, partai politik sebagai organisasi yang memiliki ideologi sendiri tentu bisa menyangkal dan menghentikan perluasan asumsi masyarakat terkait keberpihakan partai politik. Menggunakan straegi menyangkal, praktisi public relations dapat memberikan klarifikasi berupa menyangkal segala tuduhan akan organisasinya. Praktisi public relations juga bisa menggunakan beberapa tools nya seperti melalui press release ataupun press conference guna memberikan justifikasi terkait pernyataan dan persepsi publik aktif.
Strategi komunikasi menurut teori apologia yang sesuai dengan studi kasus FISIP adalah strategi konsiliasi. Dalam studi kasus ini terjadi uncertainty theory, yaitu publik internal yang tidak mendapatkan informasi apapun terkait kebijakan tersebut dan melakukan praduga terhadap dasar-dasar pemberian nama seperti “pemberian nama gedung untuk seseorang yang berjasa dan telah meninggal”. Tentu hal ini adalah salah satu kesalahan informasi akibat dari ketidakpastian informasi. Humas FISIP telah gagal dalam menyampaikan informasi terkait pemberian nama. Konsiliasi adalah upaya kerjasama dengan pihak lain yang berseberangan. Pihak yang berseberangan ini dianalogikan sebagai publik internal yang aktif dalam mengkritisi terkait kebijakan pemberian nama. Melalui strategi ini, organisasi menyatakn bahwa segala tuduhan diterima dan menyampaikan permohonan maaf serta diikuti dengan tindakan korektif (Kriyantono, 2014). Praktisi public relations dapat memanfaatkan keberadaan mading di kampus sebagai wahana pengumuman terkait peresmian gedung misalkan. Menempelkan publication atau news untuk kemudian dibaca oleh publiknya, sehingga tidak terjadi lagi ketidakpastian informasi yang menyebabkan ambiguitas.  

KASUS 5
Berbicara mengenai media, berbicara mengenai konstruksi opini publik. Bagaimana tidak, media adalah salah satu channel yang sangat menguntungkan dan efektif. Pemberitaan yang dilakukan oleh media dipercaya dan dikonsumsi khalayak dengan jangkauan cukup luas. Sehingga, segala konten yang berada di dalamnya akan berpengaruh besar terhadap opini yang dibentuk publik. Dapat saya katakan bahwa, opini publik dibentuk akibat media atau biasa disebut opini media.
Liputan media BS tentu akan berpengaruh besar terhadap ketenaran organisasi tersebut. Baik citra positif maupun citra negatif. Dalam studi kasus diatas, BS cenderung memiliki liputan media citra positif, padahal tidak disebutkan bahwa perusahaan BS adalah perusahaan yang sama besarnya seperti perusahaan HS yang sudah berbentuk PT atau perseroan terbatas. Besar kecilnya suatu organisasi bukan menjadi suatu acuan akan pemberitaan yang dilakukan oleh media. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara terlebih media juga membutuhkan pasokan sumber daya informasi terkait konten-konten yang akan dipublikasikan.
Sebagai perusahaan dengan bentuk perseroan terbatas, praktisi public relations PT Hidup Sejahtera dapat menggunakan tools nya untuk mencapai publisitas. Dalam teori agenda building, public relations akan lebih baik jika “berteman” dengan media. Misalnya saja, pengadaan event PT Hidup Sejahtera yang kemudian media datang untuk meliput event tersebut. Publisitas disini adalah informasi yang disediakan oleh sumber luar yang digunakan oleh media karena informasi itu memiliki nilai berita (Kriyantono, 2008). Sebelum mendapatkan publisitas dari media, ada baiknya untuk public relations PT Hidup Sejahtera membangun hubungan yang baik dengan media-media yang ada.
Langkah selanjutnya setelah membangun relasi yang baik adalah public relations sebagai information subsidies. “public relations harus proaktif menyediakan informasi dan bahkan memengaruhi agenda media dan pubik” (Kriyantono, 2014). Tujuan dari information subsidies ini adalah menyebarluaskan informasi dan identitas organisasinya melalui media. Praktisi public relations juga bisa menonjolkan sesuatu yang postif dari organisasi sehingga berakibat pada citra positif pada organisasi. Misalkan saja PT Hidup Sejahtera sebagai perusahaan asuransi memberikan bantuan bersih-bersih lingkungan terhadap korban banjir di daerah Jakarta yang baru saja tertimpa musibah. Media datang untuk kemudian melakukan liputan acara dan public relations disana hadir pula sebagai information subsidies untuk diwawancarai. Namun, ketika media tidak datang untuk publisitas, maka public relations bisa melakukan press release selaku perannya menjadi information subsidies. Press release yang dikirimkan kepada media akan dibaca oleh khalayak dan dapat dijadikan sebagai media pencitraan terhadap PT Hidup Sejahtera. Evaluasi yang dapat dilakukan adalah pembuatan event dengan memiliki nilai berita kurang tinggi, misalkan saja sekadar membantu membersihkan got adalah hal yang biasa, PT Hidup Sejahtera bisa melakukannya dengan lebih hectic seperti pemberian asuransi jiwa terhadap lima belas manula di sebuah desa yang menjadi korban. Tentu akan menjadi nilai positif tersendiri yang kemudian memiliki nilai jual untuk diberitakan.
Mengapa liputan media sangatlah penting? Teori agenda building mengadopsi dari teori komunikasi massa yakni agenda setting theory. Media sangat erat kaitannya dengan public relations karena pencitraan yang dilakukan sangat efektif daan efisien dengan menjangkau publik yang luas. Tak hanya itu, relasi yang baik dengan media dapat menimbulkan simbiosis yang saling menguntungkan antar keduanya. Media mendapatkan bahan berita dan public relations mendapatkan publisitas dengan mudah. Teori agenda building sendiri mengatakan bahwa opini publik yang cepat terpengaruh akibat pemberitaan (agenda) yang dilakukan oleh media terus menerus. Ketika suatu berita di agendakan terus menerus dapat membentuk cara pandang publik tentang apa yang diberitakan, termasuk penting tidaknya isu … (Kriyantono, 2014).

DAFTAR PUSTAKA

l Kriyantono, R. (2014). Teori-teori public relations perspektif barat & lokal: Aplikasi penelitian dan praktik. Jakarta: Kencana

l Kriyantono, R. (2008). Public relations writing: teknik produksi media public relations dan publisitas korporat. Jakarta: Kencana
Share
Tweet
Pin
Share
No pendapat


Analisa Kasus Mars Perindo sebagai Pesan Persuasi Pembentuk Disonansi Kognisi

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Individu
Mata Kuliah Teori-teori public relations
Dosen Pengampu : Rachmat Kriyantono, Ph.D








Disusun oleh :
Dymi Marsa Levina Cahyarani
165120200111024



Jurusan Ilmu komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
2016/2017


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Deskripsi Kasus
Pada pertengahan tahun 2016 lalu, rupanya media penyiaran dihebohkan dengan adanya penayangan iklan bertajuk kampanye milik Perindo berupa penayangan Mars Perindo. Iklan yang berdurasi satu menit ini ditayangkan dalam empat media kepemilikan Hary Tanoesodibjo menceritakan tentang pencitraan partai Perindo melalui visualisasi dan lirik lagunya. Sesuai dengan visi yang disebutkan dalam web resmi mereka partaiperindo.com bahwa partai politik satu ini memiliki visi untuk menyejahterakan Indonesia dengan rakyat kecil sebagai target sasarannya. Maka, iklan partai politik berupa video clip mars ini juga memberikan penggambaran yang sesuai dengan visi mereka, dimana pesan yang disampaikan adalah Hary Tanoe sebagai pendiri partai politik ini turun langsung ke masyarakat dan melakukan controlling terhadap kondisi pendidikan, olahraga, pemberian bekal ukm, dan bidang ekonominya. Permasalahan yang muncul bukanlah frekusensi iklan yang ditayangkan oleh media penyiaran yang kemudian berhubungan dengan Komisi Penyiaran Indonesia. Penulis berusaha mengangkat disonansi kognitif yang timbul sebelum dan sesudah hadirnya Mars Perindo.
Partai Perindo berusaha untuk mengenalkan organisasinya melalui iklan dalam media televisi. Sebagai partai baru, tentu strategi ini sangat diperlukan. Namun perlu diperhatikan bahwa, media televisi digunakan sebagai media hiburan oleh masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh nielsen dalam webnya tahun 2014 menyebutkan bahwa konsumsi media televisi provinsi Jawa adalah 95% dan luar Jawa sebesar 97% dibandingkan Internet yang dikonsumsi hanya sebesar 33% dan 32% saja. Dalam presentase tersebut, juga disebutkan bahwa konsumen paling banyak menonton tayangan seperti pertandingan sepak bola, selain itu tayangan berjenis entertainment atau hiburan seperti talent-show, childern drama, movie dan comedy menjadi 10 Top Program baik di Jawa maupun di luar Jawa. Dari penelitian nielsen di atas, dapat disimpulkan bahwa media televisi dominan digunakan sebagai hiburan utama (melihat jumlah konsumsi media televisi lebih tinggi dibanding media lain). Sehingga, kampanye berupa iklan melalui media televisi perlu lebih diperhatikan mengingat fungsi utama media televisi sebagai hiburan. Iklan adalah salah satu kampanye berupa pesan persuasif. Dalam iklan politik terjadi dua proses yang salah satunya adalah menumbuhkan keyakinkan yang dilakukan dengan pemaparan visi-misi, pencitraan partai politik, dan pencitraan individu politisi (Magdalena, 2010). Dalam kacamata konsumen, tentu iklan politik memiliki perbedaan tujuan dengan mereka yang memilih media televisi sebagai media hiburan, bukan sebagai ajang edukasi tentang partai politik. Sedangkan dalam kacamata organisasi, kognisi ini adalah tantangan tersendiri bagi Partai Perindo mengingat tahun 2016 bukan merupakan masa kampanye pesta demokrasi, sehingga perhatian masyarakat terhadap partai politik masih belum terlalu tinggi. Tantangan tersebut berupa efektivitas pesan iklan politik sehingga dapat diterima masyarakat dengan mengurangi disonansi di dalam masyarakat.
Kognisi masyarakat terhadap partai politik tergolong rendah, terlebih jika partai politik itu baru saja didirikan. Sebut saja Partai Nasional Demokrasi (NasDem) adalah partai politik yang tergolong baru berdiri pada tahun 2011 memperoleh suara sekitar 6% (sumber: kompas.com) saja pada Perolehan Pemilu Partai Politik 2014, artinya dalam jangka waktu 3 tahun perolehan suara di luar survei elektabilitas mendapatkan diangka 6% dan juga partai Hanura mendapat diangka 5% sebagai Partai Politik yang berdiri ditahun 2006. Perolehan Pemilu Partai Politik 2014 ini memiliki responden yang mencakup seluruh Indonesia. Tentu hal diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat kognisi masyarakat terhadap partai politik baru tergolong rendah, berbeda dengan partai yang sudah lama berdiri seperti PDIP dan Golkar misalnya. Hal ini dapat sejalan dengan hadirnya Partai Perindo yang baru saja muncul dan resmi didirikan pada tahun 2015 dan harus menyiapkan diri dalam menghadapi pemilu di tahun 2019 sebagai partai yang tergolong baru. Sehingga, tentu saja Partai Perindo harus menyusun strategi untuk berusaha mengurangi disonansi yang terjadi di masyarakat. Disonansi disebutkan sebagai ketidak-konsistenan atau ketidaksesuaian antara kepercayaan yang diyakini (kognisi) dengan tindakan yang dilakukan. Rasa tidak nyaman yang timbul akibat kognisi yang melekat pada masyarakat terkait ketidak pedulian mereka terhadap partai politik baru untuk mendapatkan suara di pemilu mendatang.
Berikut penulis sertakan timeline deskripsi kasus Partai Perindo sehingga lebih mudah untuk dipahami.
 
Tabel: 1.1 Timeline Strategi Partai Perindo


1. 2 Permasalahan
Muncul permasalahan berupa efektivitas strategi Partai Politik Perindo dalam menghadapi disonansi terhadap partai politik baru yang cenderung tinggi untuk mendapatkan suara di pemilu mendatang.

BAB II
ANALISA
2.1 Analisa Teori
Berbicara tentang politik di Indonesia tentu akan ada keterkaitan dengan kognisi masyarakatnya. Sebagai lembaga tertinggi, masyarakat memiliki posisi dalam pengambilan keputusan, seperti dalam pemilihan umum misalnya. Berbicara tentang kognisi, maka dapat dikaitkan terhadap kesesuaian visi Partai Politik dengan keinginan masyarakat. Seperti dilansir pada katadata.co.id bahwa tingginya suara yang diperoleh partai politik utamanya disebabkan atas tindakan partai politik terkait mampu memperjuangkan aspirasi rakyat dan mampu terjun langsung untuk membantu permasalahan masyarakat. Tak hanya itu, salah satu partai PDIP disebutkan memiliki suara yang tinggi akibat kognisi masyarakat terhadap partai politik tersebut dianggap sebagai pelanjut perjuangan Presiden Soekarno, presiden pertama yang terbilang sukses dalam menyatukan Nusantara. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa adanya keterkaitan kepercayaan masyarakat dengan sejarah yang terjadi mengingat tokoh PDIP, Megawati Soekarno Putri masih sedarah dengan presiden pertama Indonesia. Berbicara tentang kesuksesan PDIP, sejarah, tokoh, dan aktivitas partai politik menjadi aspek penting dalam menggaet perhatian masyarakat serta mendapatkan suara tinggi dalam pemilu.
Partai Perindo sebagai partai yang didirikan pada tahun 2015 tentu terbilang baru. Berkaca dari partai politik PDIP yang terbilang sukses, maka tiga aspek yaitu sejarah, tokoh, dan aktivitas partai politik merupakan penunjang bagi partai politik untuk mendapatkan suara yang tinggi. Partai Perindo harus mempersiapkan dirinya dalam menghadapi Pemilu di tahun 2019. Empat tahun adalah waktu yang cukup singkat dalam memberikan pembuktian terhadap masyarakat guna mengurangi disonansinya. Maka, dilakukanlah pencitraan organisasi dengan “kampanye” di media penyiaran berupa Mars Perindo sebagai kunci untuk mendapatkan perhatian masyarakat. Namun, partai politik yang satu ini harus menghadapi disonansi yang timbul di dalam masyarakat.
 Mengapa dianggap terjadi disonansi? Masyarakat Indonesia tergolong memiliki kepercayaan yang rendah terhadap partai politik, seperti dilansir oleh detik.com bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sebesar 35%, sehingga tentu saja selama ini pula terjadi consonannce yaitu terjadinya perkuatan antara satu elemen dengan elemen lainnya (Kriyantono, 2014), dimana kepercayaan dan sikap mereka berjalan beriringan. Untuk mendukung kepercayaannya ini, mayoritas masyarakat akan melakukan penyeleksian terhadap isu-isu yang sesuai dengan skemata. Skemata adalah “sistem di dalam koginisi saya yang bertugas menyimpan dan mengolah informasi” (Festnger, 1957 dalam Kriyantono, 2014). Maka masyarakat akan cenderung mencari aman dengan tidak memperhatikan kampanye-kampanye partai politik yang memiliki kredibel rendah sehingga menimbulkan rasa nyaman terhadap diri mereka. Hal ini disebutkan dalam Kriyantono, 2014 level disonansi oleh Zimbardo, dkk diantaranya yaitu proses persepsi yang mencakup seleksi terpaan pesan yaitu perilaku individu yang cenderung melakukan seleksi terhadap informasi yang dianggap inkonsisten dengan kepercayaan yang sudah ada dalam skematanya serta proses presepsi yang mencakup seleksi perhatian biasanya dilakukan individu untuk meneguhkan kepercayaannya.  Masyarakat akan cenderung menghindari hal-hal yang berbau politik beserta kampanye, seperti debat calon eksekutif, kampanye yang mendatangi organisasi desa, yang agaknya kurang memberikan keuntungan terhadap masyarakat (Kim Harrison, 2008:9 dalam Kriyantono, 2014). Sehingga, apabila Partai Politik Perindo ingin mendapatkan suara dalam pemilu mendatang atau minimal Perindo dapat dikenal masyarakat dalam jangka waktu kurang dari empat tahun, maka harus ada strategi yang cukup untuk mendobrak adanya konsonansi yang kian statis. Untuk mendapatkan suara, Perindo tentu harus membangun disonansi namun tetap dalam zona nyaman masyarakatnya.
Perindo dihadapkan pada permasalahan persuasi masyarakat untuk ikut mendukung partainya yang kemudian, jika terjadi maka akan timbul disonansi. Padahal, disonansi akan terjadi dan kemudian individu akan berupaya untuk mengurangi disonansi bahkan menghindari situasi yang memungkinkan adanya disonansi tambahan (Kriyantono, 2014). Persuasi yang dilakukan haruslah bersifat tidak terang-terangan, sehingga yang ditakutkan adalah penolakan mentah-mentah terhadap persuasi yang dilakukan Perindo. Misalnya saja jika Perindo melakukan kampanye nya seperti “Pilihlah Perindo pasti Sejahtera” buk anlah produksi pesan yang baik dalam upaya persuasi. Mengapa demikian? Karena tentu saja pesan tersebut adalah benar-benar menunjukan arah yang berlawanan terkait pesan dan kognisi masyarakatnya. Praktisi public relations terkait harus menyadari terkait munculnya Perindo merupakan informasi yang baru diterima oleh publik, sehingga dengan tidak sadar publiknya (masyarakat) akan melakukan kesesuaian informasi yang diterima dengan skemata pada dirinya. Jika partai politik adalah informasi baru yang diterima, sedangkan skemata pada masyarakat memiliki citra negatif maka persuasi positif ditolak. Persuasi haruslah sesuatu yang mampu menarik perhatian khalayak (Kim Harrison, 2008:9 dalam Kriyantono, 2014).
Seperti halnya iklan pada umumnya, strategi Perindo sangat baik dalam menggugah minat masyarakat dengan jingle lagu atau biasa disebut dengan mars. Lagu ciptaan istri Hary Tanoe ini diputar pada media massa penyiaran pada sponsor acara dengan rating yang cukup tinggi. Tentu untuk mendapatkan massa yang banyak, media penyiaran adalah kanal terbaik untuk menjangkau wilayah Indonesia yang cukup luas, terlebih masyarakatnya pun juga belum meninggalkan budaya menonton televisi sekalipun sebagai alternatif hiburan semata. Mars diciptakan dengan maksud mudah dihafal, produksi pesan yang terdapat di dalamnya juga mampu memberikan pencitraan positif bagi partai Perindo. Namun, perlu diperhatikan bahwa masyarakat memilih media televisi adalah sebagai media hiburan (utamanya Mars Perindo tampil sebagai sponsor dalam acara hiburan seperti Gosip dan FTV dilansir oleh tirto.id). Agaknya strategi ini mampu memberikan pengaruh positif terhadap tiga tahun berdirinya partai Perindo. Dalam jangka dekat, masyarakat mulai mengetahui keberadaan partai Perindo walaupun kognisi mereka adalah tidak peduli terhadap keberadaan partai politik. Terjadilah disonansi, dimana kognisi dan perilaku mereka terjadi gap. Pengetahuan baru yang mereka dapat secara tidak sengaja sebagai akibat menonton televisi menyebabkan terjadinya disonansi. Tahap penyeleksian terpaan pesan juga belum cukup maksimal untuk mempertahankan kognisi dan rasa nyamannya terhadap partai politik, melihat bahwa mars ini diputar disela acara-acara hiburan yang notabene digemari masyarakat luas. Langkah yang dilakukan adalah mengubah kognisi mereka agar pelan-pelan keluar dari sisi nyaman mereka akan ketidakpedulian partai politik. Lagu sebagai salah satu elemen yang mudah diingat oleh orang menjadi salah satu umpan terbaik untuk merangsang terjadinya disonansi pada kognisi khalayak namun tetap diterima dengan baik. Tak hanya itu, langkah setelahnya adalah memberikan pengetahuan baru tentang partai Perindo tentang pencitraannya di mata publik sehingga bisa saja dianggap sebagai solusi akan ketakuan dan kekhawatiran masyarakat terhadap partai politik (seperti partai politik yang terlalu diktator dan apatis).
Berhasilnya pesan persuasi (dikatakan persuasi karena Perindo berusaha menabrak konsonansi dalam diri masyarakat terhadap ketidak pedulian partai politik dalam bentuk ajakan dan pengetahuan baru) dalam teori yang digunakan oleh teori disonansi kognisi terlihat pada survei elektabilitas yang dilakukan pada bulan September 2017 lalu. Dilansir dari detik.com, terhitung selama dua tahun berdirinya partai Perindo, mampu membawa angka di 2,5% mengalahkan Partai Nasdem yang sudah berdiri enam tahun lamanya berada pada angka 2% (dengan total responden sebesar 1.220 orang). Selain itu, penggunaan media penyiaran juga merupakan solusi yang dirasakan tepat, mengingat Hary Tanoe memiliki saham diberbagai media penyiaran adalah sebuah keuntungan. Sesuai dengan buku Kriyantono, 2014 bahwa “praktisi public relations dapat menggunakan TKD ini untuk merencanakan pesan persuasif seefektif mungkin dengan mendasarkan pada situasi yang dirasakan target sasaran”. Maka, Mars Perindo yang ditayangkan pada media penyiaran disela acara berating tinggi adalah pesan persuasif yang efektif melihat sasarannya menjangkau luas dan memiliki penonton yang cukup banyak. Disonansi dapat dilakukan dengan baik tanpa harus produksi pesan yang seolah berlawanan dengan skemata masyarakat. Kondisi masyarakat (sebagai target) yang awalnya konsonan terhadap partai politik dan benar melakukan seleksi terpaan pesan tentang partai politik menjadi disonansi akibat adanya mars yang disponsorkan. Rasio disonansi yang berhasil dibentuk selain melalui perolehan suara, dapat dilihat berapa banyaknya netizen (bahkan dalam kasus ini anak kecil) yang hafal akan Mars Perindo. Disonansi yang terjadi adalah kognisi khalayak seperti semula, namun perilaku merekalah kemudian yang inkonsistensi, yaitu mereka menaruh perhatian pada Mars Perindo, menyanyikan bahkan menghafal lagunya. Perindo mampu melihat disonansi yang terjadi dalam masyarakat, dimana televisi adalah salah satu media hiburan dan tentu akan melakukan selektivitas pesan yang tidak menghibur. Maka terlihat letak keberhasilan produksi pesan persuasif pengenalan Perindo kepada masyarakat sebagai bentuk disonansi kognisi. Perindo menggunakan strategi yang cukup baik, berupa iklan politik yang menyampaikan citra-citra organisasi, visi-misi, dan citra Hary Tanoe (sebagai proses menumbuhkan keyakinan) dalam bentuk mars yang menghibur karena berbentuk lagu. Hal tersebut juga sejalan dengan tujuan penonton dalam memilih media televisi yaitu sebagai sarana hiburan.





2.2 Rekomendasi
Rekomendasi yang saya berikan mengacu terhadap keluhan masyarakat akan hadirnya Mars Perindo dalam media penyiaran di jam-jam yang tak seharusnya. Misalnya saja, Mars Perindo juga tayang sebagai sponsor dalam program televisi kartun yang mayoritas penontonnya adalah anak-anak berusia 0-12 tahun. Peletakan jam tayang sponsor ini dirasa kurang tepat dan kurang efisien karena anak-anak bukanlah target sasaran yang tepat bagi sebuah partai politik. Anak-anak berusia 0-12 tahun masih belum memiliki keterikatan secara hukum dalam keikutsertaan pemilihan partai politik. Tentu saja hal ini menganggu dan menimbulkan perasaan khawatir dari orang tua. Banyak orang tua yang mengeluhkan hal ini kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) karena anak mereka menjadi semakin terpengaruh terhadap adanya mars tersebut. Tak hanya itu, KPAI juga menuntut adanya tinjauan ulang KPI terhadap media terkait karena terus menerus menampilkan Mars Perindo.
Rekomendasi yang dapat diajukan adalah melakukan perubahan terhadap bentuk pesan persuasif yang tidak melulu berupa mars, mungkin saja bisa dilakukan dalam bentuk lain seperti testimonial penduduk yang menjadi rujukan partai Perindo, sehingga tidak ada anggapan ‘doktrin’ seluruh penonton media penyiaran untuk menghafal lagu Mars Perindo. Tak hanya itu, penyajian mars secara terus menerus dengan pesan yang sama akan membuat penontonnya jenuh dan justru merasa terganggu. Hal ini seperti kita memakan sesuatu walaupun terlihat lezat, namun kita memakannya dengan frekuensi yang cukup banyak dalam porsi besar, tentu minat kita terhadap makanan lezat tadi ikut menurun, begitu pula dengan pesan persuasi yang dilakukan oleh Perindo. Tentu saja pengurangan frekuensi juga perlu dilakukan mengingat peraturan yang berlaku bahwa partai politik belum boleh melakukan kampanye secara terus menerus sebelum masanya. Pada dasarnya mars ini hanya ditujukan sebagai bentuk pengenalan organisasi terhadap publik, namun jika dilakukan terus menerus seolah terdapat unsur doktrin (sebagaimana Jepang juga melakukan hal yang serupa pada jaman penjajahan) dan dapat disebut sebagai kampanye.
Rekomendasi lain yang dapat penulis berikan adalah penggunaan kanal lain sebagai sarana perkenalan. Sebut saja sosial media seperti Twitter yang dalam lima tahun terakhir politisi ikut aktif dalam memberikan kicauannya. Terlebih, ketika presiden Amerika Serikat menggunakan Twitter sebagai sarana demokrasinya tak heran para politisi Indonesia juga melakukan hal yang serupa. Perindo bisa saja melakukan pengenalan seperti publikasi di media Twitter. Mengandalkan web tidak cukup menjangkau banyak orang, bahkan hanya sebagian kecil orang yang tahu menahu akan adanya web resmi dari Perindo. Sosial media sebagai suatu wadah berpendapat dan tempat diskusi banyak khalayak bisa menjadi salah satu kanal untuk dimanfaatkan Perindo selain media televisi.

DAFTAR PUSTAKA

l Kriyantono, R. (2014). Teori-teori public relations perspektif barat & lokal: Aplikasi penelitian dan praktik. Jakarta: Kencana
l Kertayasa, I. Gelgel, N. & Pradipta, A. Analisis Terpaan Iklan Partai Politik Di Televisi Pada Pemilih Pemula Di Kota Denpasar Dalam Pemilu Legislatif 2014. 1-15
l Magdalena. (2010). Kaitan Iklan Politik dengan Popularitas dan Elektabilitas Partai Politik dan Politisi pada Pemilu 2009. Tanggapan masyarakat terhadap iklan politik di televisi, 11 (2), 44-58
l Prabowo, D. (2014). Disahkan KPU ini perolehan suara pemilu legislatif. Diakses pada 19 Februari 2018. Tersedia pada http://nasional.kompas.com/read/2014/05/09/2357075/Disahkan.KPU.Ini.Perolehan.Suara.Pemilu.Legislatif.2014 
l Taufiqqurahman, M. (2017). Survei indikator elektabillitas perindo di atas nasdem pan hanura. Diakses pada 19 Februari 2018. Tersedia pada https://news.detik.com/berita/d-3680059/survei-indikator-elektabilitas-perindo-di-atas-nasdem-pan-hanura 
l Bayu, D. (2018). Smrc elektabilitas mayoritas parpol turun hanya pdip terus menanjak. Diakses pada 20 Februari 2018. Tersedia pada https://katadata.co.id/berita/2018/01/02/smrc-elektabilitas-mayoritas-parpol-turun-hanya-pdip-terus-menanjak 
l Anonim. (2017). Survei partai politik makin tidak dipercayai masyarakat. Diakses pada 19 Februari 2018. Tersedia pada https://nasional.tempo.co/read/858765/survei-partai-politik-makin-tidak-dipercayai-masyarakat 
l Matondang, D. (2017) Survei kepercayaan publik, kpk, presiden, tertinggi, dpr terendah.Diakses pada 19 Februari 2018. Tersedia pada https://news.detik.com/berita/d-3567239/survei-kepercayaan-publik-kpk-presiden-tertinggi-dpr-terendah 
l Hanifan, A. (2016). Menancapkan Mars Perindo lewat stasiun tv miliki pribadi. Diakses pada 19 Februari 2018. Tersedia pada https://amp.tirto.id/menancapkan-mars-perindo-lewat-stasiun-tv-milik-pribadi-nn 
(2014). Nielsen: Konsumsi media lebih tinggi di luar jawa. Diakses pada 6 Maret 2018. Tersedia pada https://nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-konsumsi-media-lebih-tinggi-di-luar-jawa.html 
Share
Tweet
Pin
Share
No pendapat
Newer Posts
Older Posts

Blog Archive

  • ►  2010 (12)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Desember (11)
  • ►  2011 (2)
    • ►  Januari (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2012 (10)
    • ►  Januari (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  November (1)
  • ►  2013 (4)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Desember (2)
  • ►  2014 (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2015 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2017 (5)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Oktober (4)
  • ▼  2018 (18)
    • ►  Januari (11)
    • ▼  Maret (2)
      • Analisa Kasus Mars Perindo sebagai Pesan Persuasi ...
      • Analisa Deskripsi Studi Kasus dengan Teori-teori P...
    • ►  Mei (1)
    • ►  Juli (4)
  • ►  2019 (9)
    • ►  Maret (9)

Entri Populer

  • DOWNLOAD MAKALAH NEGARA LAOS
  • DOWNLOAD SOUNDTRACK IKLAN WINDOWS 8

About Me

Unknown
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates