Analisa Kasus Mars Perindo sebagai Pesan Persuasi Pembentuk Disonansi Kognisi
Analisa Kasus Mars Perindo sebagai Pesan Persuasi Pembentuk Disonansi Kognisi
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Individu
Mata Kuliah Teori-teori public relations
Dosen Pengampu : Rachmat Kriyantono, Ph.D
Disusun oleh :
Dymi Marsa Levina Cahyarani
165120200111024
Jurusan Ilmu komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
2016/2017
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Deskripsi Kasus
Pada pertengahan tahun 2016 lalu, rupanya media penyiaran dihebohkan dengan adanya penayangan iklan bertajuk kampanye milik Perindo berupa penayangan Mars Perindo. Iklan yang berdurasi satu menit ini ditayangkan dalam empat media kepemilikan Hary Tanoesodibjo menceritakan tentang pencitraan partai Perindo melalui visualisasi dan lirik lagunya. Sesuai dengan visi yang disebutkan dalam web resmi mereka partaiperindo.com bahwa partai politik satu ini memiliki visi untuk menyejahterakan Indonesia dengan rakyat kecil sebagai target sasarannya. Maka, iklan partai politik berupa video clip mars ini juga memberikan penggambaran yang sesuai dengan visi mereka, dimana pesan yang disampaikan adalah Hary Tanoe sebagai pendiri partai politik ini turun langsung ke masyarakat dan melakukan controlling terhadap kondisi pendidikan, olahraga, pemberian bekal ukm, dan bidang ekonominya. Permasalahan yang muncul bukanlah frekusensi iklan yang ditayangkan oleh media penyiaran yang kemudian berhubungan dengan Komisi Penyiaran Indonesia. Penulis berusaha mengangkat disonansi kognitif yang timbul sebelum dan sesudah hadirnya Mars Perindo.
Partai Perindo berusaha untuk mengenalkan organisasinya melalui iklan dalam media televisi. Sebagai partai baru, tentu strategi ini sangat diperlukan. Namun perlu diperhatikan bahwa, media televisi digunakan sebagai media hiburan oleh masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh nielsen dalam webnya tahun 2014 menyebutkan bahwa konsumsi media televisi provinsi Jawa adalah 95% dan luar Jawa sebesar 97% dibandingkan Internet yang dikonsumsi hanya sebesar 33% dan 32% saja. Dalam presentase tersebut, juga disebutkan bahwa konsumen paling banyak menonton tayangan seperti pertandingan sepak bola, selain itu tayangan berjenis entertainment atau hiburan seperti talent-show, childern drama, movie dan comedy menjadi 10 Top Program baik di Jawa maupun di luar Jawa. Dari penelitian nielsen di atas, dapat disimpulkan bahwa media televisi dominan digunakan sebagai hiburan utama (melihat jumlah konsumsi media televisi lebih tinggi dibanding media lain). Sehingga, kampanye berupa iklan melalui media televisi perlu lebih diperhatikan mengingat fungsi utama media televisi sebagai hiburan. Iklan adalah salah satu kampanye berupa pesan persuasif. Dalam iklan politik terjadi dua proses yang salah satunya adalah menumbuhkan keyakinkan yang dilakukan dengan pemaparan visi-misi, pencitraan partai politik, dan pencitraan individu politisi (Magdalena, 2010). Dalam kacamata konsumen, tentu iklan politik memiliki perbedaan tujuan dengan mereka yang memilih media televisi sebagai media hiburan, bukan sebagai ajang edukasi tentang partai politik. Sedangkan dalam kacamata organisasi, kognisi ini adalah tantangan tersendiri bagi Partai Perindo mengingat tahun 2016 bukan merupakan masa kampanye pesta demokrasi, sehingga perhatian masyarakat terhadap partai politik masih belum terlalu tinggi. Tantangan tersebut berupa efektivitas pesan iklan politik sehingga dapat diterima masyarakat dengan mengurangi disonansi di dalam masyarakat.
Kognisi masyarakat terhadap partai politik tergolong rendah, terlebih jika partai politik itu baru saja didirikan. Sebut saja Partai Nasional Demokrasi (NasDem) adalah partai politik yang tergolong baru berdiri pada tahun 2011 memperoleh suara sekitar 6% (sumber: kompas.com) saja pada Perolehan Pemilu Partai Politik 2014, artinya dalam jangka waktu 3 tahun perolehan suara di luar survei elektabilitas mendapatkan diangka 6% dan juga partai Hanura mendapat diangka 5% sebagai Partai Politik yang berdiri ditahun 2006. Perolehan Pemilu Partai Politik 2014 ini memiliki responden yang mencakup seluruh Indonesia. Tentu hal diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat kognisi masyarakat terhadap partai politik baru tergolong rendah, berbeda dengan partai yang sudah lama berdiri seperti PDIP dan Golkar misalnya. Hal ini dapat sejalan dengan hadirnya Partai Perindo yang baru saja muncul dan resmi didirikan pada tahun 2015 dan harus menyiapkan diri dalam menghadapi pemilu di tahun 2019 sebagai partai yang tergolong baru. Sehingga, tentu saja Partai Perindo harus menyusun strategi untuk berusaha mengurangi disonansi yang terjadi di masyarakat. Disonansi disebutkan sebagai ketidak-konsistenan atau ketidaksesuaian antara kepercayaan yang diyakini (kognisi) dengan tindakan yang dilakukan. Rasa tidak nyaman yang timbul akibat kognisi yang melekat pada masyarakat terkait ketidak pedulian mereka terhadap partai politik baru untuk mendapatkan suara di pemilu mendatang.
Berikut penulis sertakan timeline deskripsi kasus Partai Perindo sehingga lebih mudah untuk dipahami.

Tabel: 1.1 Timeline Strategi Partai Perindo
1. 2 Permasalahan
Muncul permasalahan berupa efektivitas strategi Partai Politik Perindo dalam menghadapi disonansi terhadap partai politik baru yang cenderung tinggi untuk mendapatkan suara di pemilu mendatang.
BAB II
ANALISA
2.1 Analisa Teori
Berbicara tentang politik di Indonesia tentu akan ada keterkaitan dengan kognisi masyarakatnya. Sebagai lembaga tertinggi, masyarakat memiliki posisi dalam pengambilan keputusan, seperti dalam pemilihan umum misalnya. Berbicara tentang kognisi, maka dapat dikaitkan terhadap kesesuaian visi Partai Politik dengan keinginan masyarakat. Seperti dilansir pada katadata.co.id bahwa tingginya suara yang diperoleh partai politik utamanya disebabkan atas tindakan partai politik terkait mampu memperjuangkan aspirasi rakyat dan mampu terjun langsung untuk membantu permasalahan masyarakat. Tak hanya itu, salah satu partai PDIP disebutkan memiliki suara yang tinggi akibat kognisi masyarakat terhadap partai politik tersebut dianggap sebagai pelanjut perjuangan Presiden Soekarno, presiden pertama yang terbilang sukses dalam menyatukan Nusantara. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa adanya keterkaitan kepercayaan masyarakat dengan sejarah yang terjadi mengingat tokoh PDIP, Megawati Soekarno Putri masih sedarah dengan presiden pertama Indonesia. Berbicara tentang kesuksesan PDIP, sejarah, tokoh, dan aktivitas partai politik menjadi aspek penting dalam menggaet perhatian masyarakat serta mendapatkan suara tinggi dalam pemilu.
Partai Perindo sebagai partai yang didirikan pada tahun 2015 tentu terbilang baru. Berkaca dari partai politik PDIP yang terbilang sukses, maka tiga aspek yaitu sejarah, tokoh, dan aktivitas partai politik merupakan penunjang bagi partai politik untuk mendapatkan suara yang tinggi. Partai Perindo harus mempersiapkan dirinya dalam menghadapi Pemilu di tahun 2019. Empat tahun adalah waktu yang cukup singkat dalam memberikan pembuktian terhadap masyarakat guna mengurangi disonansinya. Maka, dilakukanlah pencitraan organisasi dengan “kampanye” di media penyiaran berupa Mars Perindo sebagai kunci untuk mendapatkan perhatian masyarakat. Namun, partai politik yang satu ini harus menghadapi disonansi yang timbul di dalam masyarakat.
Mengapa dianggap terjadi disonansi? Masyarakat Indonesia tergolong memiliki kepercayaan yang rendah terhadap partai politik, seperti dilansir oleh detik.com bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sebesar 35%, sehingga tentu saja selama ini pula terjadi consonannce yaitu terjadinya perkuatan antara satu elemen dengan elemen lainnya (Kriyantono, 2014), dimana kepercayaan dan sikap mereka berjalan beriringan. Untuk mendukung kepercayaannya ini, mayoritas masyarakat akan melakukan penyeleksian terhadap isu-isu yang sesuai dengan skemata. Skemata adalah “sistem di dalam koginisi saya yang bertugas menyimpan dan mengolah informasi” (Festnger, 1957 dalam Kriyantono, 2014). Maka masyarakat akan cenderung mencari aman dengan tidak memperhatikan kampanye-kampanye partai politik yang memiliki kredibel rendah sehingga menimbulkan rasa nyaman terhadap diri mereka. Hal ini disebutkan dalam Kriyantono, 2014 level disonansi oleh Zimbardo, dkk diantaranya yaitu proses persepsi yang mencakup seleksi terpaan pesan yaitu perilaku individu yang cenderung melakukan seleksi terhadap informasi yang dianggap inkonsisten dengan kepercayaan yang sudah ada dalam skematanya serta proses presepsi yang mencakup seleksi perhatian biasanya dilakukan individu untuk meneguhkan kepercayaannya. Masyarakat akan cenderung menghindari hal-hal yang berbau politik beserta kampanye, seperti debat calon eksekutif, kampanye yang mendatangi organisasi desa, yang agaknya kurang memberikan keuntungan terhadap masyarakat (Kim Harrison, 2008:9 dalam Kriyantono, 2014). Sehingga, apabila Partai Politik Perindo ingin mendapatkan suara dalam pemilu mendatang atau minimal Perindo dapat dikenal masyarakat dalam jangka waktu kurang dari empat tahun, maka harus ada strategi yang cukup untuk mendobrak adanya konsonansi yang kian statis. Untuk mendapatkan suara, Perindo tentu harus membangun disonansi namun tetap dalam zona nyaman masyarakatnya.
Perindo dihadapkan pada permasalahan persuasi masyarakat untuk ikut mendukung partainya yang kemudian, jika terjadi maka akan timbul disonansi. Padahal, disonansi akan terjadi dan kemudian individu akan berupaya untuk mengurangi disonansi bahkan menghindari situasi yang memungkinkan adanya disonansi tambahan (Kriyantono, 2014). Persuasi yang dilakukan haruslah bersifat tidak terang-terangan, sehingga yang ditakutkan adalah penolakan mentah-mentah terhadap persuasi yang dilakukan Perindo. Misalnya saja jika Perindo melakukan kampanye nya seperti “Pilihlah Perindo pasti Sejahtera” buk anlah produksi pesan yang baik dalam upaya persuasi. Mengapa demikian? Karena tentu saja pesan tersebut adalah benar-benar menunjukan arah yang berlawanan terkait pesan dan kognisi masyarakatnya. Praktisi public relations terkait harus menyadari terkait munculnya Perindo merupakan informasi yang baru diterima oleh publik, sehingga dengan tidak sadar publiknya (masyarakat) akan melakukan kesesuaian informasi yang diterima dengan skemata pada dirinya. Jika partai politik adalah informasi baru yang diterima, sedangkan skemata pada masyarakat memiliki citra negatif maka persuasi positif ditolak. Persuasi haruslah sesuatu yang mampu menarik perhatian khalayak (Kim Harrison, 2008:9 dalam Kriyantono, 2014).
Seperti halnya iklan pada umumnya, strategi Perindo sangat baik dalam menggugah minat masyarakat dengan jingle lagu atau biasa disebut dengan mars. Lagu ciptaan istri Hary Tanoe ini diputar pada media massa penyiaran pada sponsor acara dengan rating yang cukup tinggi. Tentu untuk mendapatkan massa yang banyak, media penyiaran adalah kanal terbaik untuk menjangkau wilayah Indonesia yang cukup luas, terlebih masyarakatnya pun juga belum meninggalkan budaya menonton televisi sekalipun sebagai alternatif hiburan semata. Mars diciptakan dengan maksud mudah dihafal, produksi pesan yang terdapat di dalamnya juga mampu memberikan pencitraan positif bagi partai Perindo. Namun, perlu diperhatikan bahwa masyarakat memilih media televisi adalah sebagai media hiburan (utamanya Mars Perindo tampil sebagai sponsor dalam acara hiburan seperti Gosip dan FTV dilansir oleh tirto.id). Agaknya strategi ini mampu memberikan pengaruh positif terhadap tiga tahun berdirinya partai Perindo. Dalam jangka dekat, masyarakat mulai mengetahui keberadaan partai Perindo walaupun kognisi mereka adalah tidak peduli terhadap keberadaan partai politik. Terjadilah disonansi, dimana kognisi dan perilaku mereka terjadi gap. Pengetahuan baru yang mereka dapat secara tidak sengaja sebagai akibat menonton televisi menyebabkan terjadinya disonansi. Tahap penyeleksian terpaan pesan juga belum cukup maksimal untuk mempertahankan kognisi dan rasa nyamannya terhadap partai politik, melihat bahwa mars ini diputar disela acara-acara hiburan yang notabene digemari masyarakat luas. Langkah yang dilakukan adalah mengubah kognisi mereka agar pelan-pelan keluar dari sisi nyaman mereka akan ketidakpedulian partai politik. Lagu sebagai salah satu elemen yang mudah diingat oleh orang menjadi salah satu umpan terbaik untuk merangsang terjadinya disonansi pada kognisi khalayak namun tetap diterima dengan baik. Tak hanya itu, langkah setelahnya adalah memberikan pengetahuan baru tentang partai Perindo tentang pencitraannya di mata publik sehingga bisa saja dianggap sebagai solusi akan ketakuan dan kekhawatiran masyarakat terhadap partai politik (seperti partai politik yang terlalu diktator dan apatis).
Berhasilnya pesan persuasi (dikatakan persuasi karena Perindo berusaha menabrak konsonansi dalam diri masyarakat terhadap ketidak pedulian partai politik dalam bentuk ajakan dan pengetahuan baru) dalam teori yang digunakan oleh teori disonansi kognisi terlihat pada survei elektabilitas yang dilakukan pada bulan September 2017 lalu. Dilansir dari detik.com, terhitung selama dua tahun berdirinya partai Perindo, mampu membawa angka di 2,5% mengalahkan Partai Nasdem yang sudah berdiri enam tahun lamanya berada pada angka 2% (dengan total responden sebesar 1.220 orang). Selain itu, penggunaan media penyiaran juga merupakan solusi yang dirasakan tepat, mengingat Hary Tanoe memiliki saham diberbagai media penyiaran adalah sebuah keuntungan. Sesuai dengan buku Kriyantono, 2014 bahwa “praktisi public relations dapat menggunakan TKD ini untuk merencanakan pesan persuasif seefektif mungkin dengan mendasarkan pada situasi yang dirasakan target sasaran”. Maka, Mars Perindo yang ditayangkan pada media penyiaran disela acara berating tinggi adalah pesan persuasif yang efektif melihat sasarannya menjangkau luas dan memiliki penonton yang cukup banyak. Disonansi dapat dilakukan dengan baik tanpa harus produksi pesan yang seolah berlawanan dengan skemata masyarakat. Kondisi masyarakat (sebagai target) yang awalnya konsonan terhadap partai politik dan benar melakukan seleksi terpaan pesan tentang partai politik menjadi disonansi akibat adanya mars yang disponsorkan. Rasio disonansi yang berhasil dibentuk selain melalui perolehan suara, dapat dilihat berapa banyaknya netizen (bahkan dalam kasus ini anak kecil) yang hafal akan Mars Perindo. Disonansi yang terjadi adalah kognisi khalayak seperti semula, namun perilaku merekalah kemudian yang inkonsistensi, yaitu mereka menaruh perhatian pada Mars Perindo, menyanyikan bahkan menghafal lagunya. Perindo mampu melihat disonansi yang terjadi dalam masyarakat, dimana televisi adalah salah satu media hiburan dan tentu akan melakukan selektivitas pesan yang tidak menghibur. Maka terlihat letak keberhasilan produksi pesan persuasif pengenalan Perindo kepada masyarakat sebagai bentuk disonansi kognisi. Perindo menggunakan strategi yang cukup baik, berupa iklan politik yang menyampaikan citra-citra organisasi, visi-misi, dan citra Hary Tanoe (sebagai proses menumbuhkan keyakinan) dalam bentuk mars yang menghibur karena berbentuk lagu. Hal tersebut juga sejalan dengan tujuan penonton dalam memilih media televisi yaitu sebagai sarana hiburan.
2.2 Rekomendasi
Rekomendasi yang saya berikan mengacu terhadap keluhan masyarakat akan hadirnya Mars Perindo dalam media penyiaran di jam-jam yang tak seharusnya. Misalnya saja, Mars Perindo juga tayang sebagai sponsor dalam program televisi kartun yang mayoritas penontonnya adalah anak-anak berusia 0-12 tahun. Peletakan jam tayang sponsor ini dirasa kurang tepat dan kurang efisien karena anak-anak bukanlah target sasaran yang tepat bagi sebuah partai politik. Anak-anak berusia 0-12 tahun masih belum memiliki keterikatan secara hukum dalam keikutsertaan pemilihan partai politik. Tentu saja hal ini menganggu dan menimbulkan perasaan khawatir dari orang tua. Banyak orang tua yang mengeluhkan hal ini kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) karena anak mereka menjadi semakin terpengaruh terhadap adanya mars tersebut. Tak hanya itu, KPAI juga menuntut adanya tinjauan ulang KPI terhadap media terkait karena terus menerus menampilkan Mars Perindo.
Rekomendasi yang dapat diajukan adalah melakukan perubahan terhadap bentuk pesan persuasif yang tidak melulu berupa mars, mungkin saja bisa dilakukan dalam bentuk lain seperti testimonial penduduk yang menjadi rujukan partai Perindo, sehingga tidak ada anggapan ‘doktrin’ seluruh penonton media penyiaran untuk menghafal lagu Mars Perindo. Tak hanya itu, penyajian mars secara terus menerus dengan pesan yang sama akan membuat penontonnya jenuh dan justru merasa terganggu. Hal ini seperti kita memakan sesuatu walaupun terlihat lezat, namun kita memakannya dengan frekuensi yang cukup banyak dalam porsi besar, tentu minat kita terhadap makanan lezat tadi ikut menurun, begitu pula dengan pesan persuasi yang dilakukan oleh Perindo. Tentu saja pengurangan frekuensi juga perlu dilakukan mengingat peraturan yang berlaku bahwa partai politik belum boleh melakukan kampanye secara terus menerus sebelum masanya. Pada dasarnya mars ini hanya ditujukan sebagai bentuk pengenalan organisasi terhadap publik, namun jika dilakukan terus menerus seolah terdapat unsur doktrin (sebagaimana Jepang juga melakukan hal yang serupa pada jaman penjajahan) dan dapat disebut sebagai kampanye.
Rekomendasi lain yang dapat penulis berikan adalah penggunaan kanal lain sebagai sarana perkenalan. Sebut saja sosial media seperti Twitter yang dalam lima tahun terakhir politisi ikut aktif dalam memberikan kicauannya. Terlebih, ketika presiden Amerika Serikat menggunakan Twitter sebagai sarana demokrasinya tak heran para politisi Indonesia juga melakukan hal yang serupa. Perindo bisa saja melakukan pengenalan seperti publikasi di media Twitter. Mengandalkan web tidak cukup menjangkau banyak orang, bahkan hanya sebagian kecil orang yang tahu menahu akan adanya web resmi dari Perindo. Sosial media sebagai suatu wadah berpendapat dan tempat diskusi banyak khalayak bisa menjadi salah satu kanal untuk dimanfaatkan Perindo selain media televisi.
DAFTAR PUSTAKA
l Kriyantono, R. (2014). Teori-teori public relations perspektif barat & lokal: Aplikasi penelitian dan praktik. Jakarta: Kencana
l Kertayasa, I. Gelgel, N. & Pradipta, A. Analisis Terpaan Iklan Partai Politik Di Televisi Pada Pemilih Pemula Di Kota Denpasar Dalam Pemilu Legislatif 2014. 1-15
l Magdalena. (2010). Kaitan Iklan Politik dengan Popularitas dan Elektabilitas Partai Politik dan Politisi pada Pemilu 2009. Tanggapan masyarakat terhadap iklan politik di televisi, 11 (2), 44-58
l Prabowo, D. (2014). Disahkan KPU ini perolehan suara pemilu legislatif. Diakses pada 19 Februari 2018. Tersedia pada http://nasional.kompas.com/read/2014/05/09/2357075/Disahkan.KPU.Ini.Perolehan.Suara.Pemilu.Legislatif.2014
l Taufiqqurahman, M. (2017). Survei indikator elektabillitas perindo di atas nasdem pan hanura. Diakses pada 19 Februari 2018. Tersedia pada https://news.detik.com/berita/d-3680059/survei-indikator-elektabilitas-perindo-di-atas-nasdem-pan-hanura
l Bayu, D. (2018). Smrc elektabilitas mayoritas parpol turun hanya pdip terus menanjak. Diakses pada 20 Februari 2018. Tersedia pada https://katadata.co.id/berita/2018/01/02/smrc-elektabilitas-mayoritas-parpol-turun-hanya-pdip-terus-menanjak
l Anonim. (2017). Survei partai politik makin tidak dipercayai masyarakat. Diakses pada 19 Februari 2018. Tersedia pada https://nasional.tempo.co/read/858765/survei-partai-politik-makin-tidak-dipercayai-masyarakat
l Matondang, D. (2017) Survei kepercayaan publik, kpk, presiden, tertinggi, dpr terendah.Diakses pada 19 Februari 2018. Tersedia pada https://news.detik.com/berita/d-3567239/survei-kepercayaan-publik-kpk-presiden-tertinggi-dpr-terendah
l Hanifan, A. (2016). Menancapkan Mars Perindo lewat stasiun tv miliki pribadi. Diakses pada 19 Februari 2018. Tersedia pada https://amp.tirto.id/menancapkan-mars-perindo-lewat-stasiun-tv-milik-pribadi-nn
(2014). Nielsen: Konsumsi media lebih tinggi di luar jawa. Diakses pada 6 Maret 2018. Tersedia pada https://nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-konsumsi-media-lebih-tinggi-di-luar-jawa.html
0 pendapat