Pages

  • Beranda

Dymi Marsa Levina Cahyarani

dymimarsa04@gmail.com

TUGAS REVIEW
HISTORY OF THE SUB-ALTERN CLASSESS AND THE CONCEPT OF DEOLOGY “MEDIA AND CULTURAL STUDIES”
Mata Kuliah Cultural Studies
Dosen Pengampu : Abdul Wahid, S.I.Ikom., MA

















Disusun Oleh :

Andri Kurniawan 135120201111011
Dymi Marsa L.C 165120200111024
Dhinar Adi R 165120207111016





ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017



I. History of Subaltern Classes
Adanya kelas penguasa yang timbul di negara bagian yang pada dasarnya adalah sebab dari sejarah negara itu sendiri. Jika dikatakan kesatuan, bentuk kesatuan mereka bersifat yuridis dianggap salah, karena pada dasarnya sebuah sistem yang diberlakukan juga memiliki kepentingan tersendiri yang bahkan belum bisa terdefinisikan diawal. Kesatuan yang berlangsung bukan seperti hubungan antara masyarakat, negara, maupun politik.
Dalam mengetahui awal mula terbentuknya kelas subaltern perlu dipelajari :
1. Bentuk objektif kelas subaltern (perkembangan dan perubahan bentuk terjadipada bidang ekonomi; difusi kuantitatif dan asal usul kelompok yang sudah ada, ideologi dan tujuan dibicarakan dalam satu waktu)
Terbentuk akibat adanya perkembangan serta perubahan pada bidang ekonomi. Difusi (bentuk penyatuan) akibat pembicaraan terhadap kelompok yang sudah ada (dan mendominasi), ideologi serta tujuan dalam satu waktu.
2. Hubungan aktif atau pasif terhadap bentuk politik yang dominan, (usaha mereka untuk mengambil klaim atasnya, dan konsekuensi terhadap usaha yang menentukan proses dari dekomposisi, renovasi atau formasi baru.
Adanya hubungan aktif maupun pasif terhadap politik negara yang mendominasi. Politik yang berusaha untuk berkuasa bahkan cenderung otoriter untuk mengambil alih kuasanya, serta politik yang berproses sehingga mencetuskan perubahan pada komposisi awal, memperbaiki, bahkan mengadakan masa reformasi terhadap negaranya.
3. Kemunculan atas kelompok dominan, untuk melestarikan persetujuan kelas subaltern dan mempertahankan kendali atas mereka
Adanya kelompok dominan sebagai penyeimbang terhadap kelas subaltern, yang mana kelompok dominan ini memiliki kendali terhadap subaltern dalam bidang bidang.
4. Bentuk yang dihasilkan oleh kelas subaltern itu sendiri, untuk menekan klaim yang terbatas dan karakter parsial (bagian dalam satu kesatuan)
Kemunculan kelas subaltern yang merasa memiliki batas terhadap kaum dominan sehingga tidak merasa menjadi salah satu bagian terhadap suatu integritas. Maka munculah karakter parsial dalam integritas tersebut.
5. Bentuk baru yang menegaskan autonomi dalam kelas subaltern, namun dalam susunan lama
6. Bentuk baru yang menegaskan dalam kesatuan otonomi (kemandirian)
Sejarah dalam kelompok subaltern sangat kompleks, karena mencakup seluruh kegiatan sebuah partai serta kelompok dominan, dan juga dampak tindakan oleh negara yang dirasa efektif.
Sejarah kemunculkan subaltern sangatlah kompleks, karena terjadi diantara perubahan maupun proses sebuah partai dalam negara. Tindakan yang dilakukan mendominasi kelas subaltern dan juga tindakan negara yang dirasa efektif bahkan dirasa kurang mencakup kelas subaltern. Namun, dalam pelaksanaannya akan ada beberapa orang dari kelas subaltern yang menyuarakan tindakannya sebagai bentuk hegemoni melalui mediasi partai.
Dalam kelas subaltern, akan ada beberapa orang yang melakukan “pelaksanaan” EXERCISE untuk melakukan hegemoni melalui mediasi partai.
Kriteria metodhology harus didasari dengan :
Supremasi dalam manifest kelompok sosial itu sendiri dengan 2 cara, sebagai “dominan” maupun sebagai “intelektual dan kepemimpinan moral”.
Kelompok sosial mendominasi kelompok antagonis, yang cenderung “melikuidasi” atau bahkan untuk menundukkan dengan angkatan bersenjata, yang mengarah pada kelompok kerabat dan sekutu.
Kelompok sosial dapat (bahkan harus) bisa melatih “kepemimpinan” sebelum memenangkan kekuatan pemerintah (salah satu prinsip dalam memenangkan bbrp kekuatan), yang selanjutnya menjadi dominan saat powernya menguat
Metodologi dalam subjek kelas subaltern harus didasari dengan:
- Kekuasaan dalam kelompok sosial itu terbagi menjadi 2, yaitu “kekuasaan yang mendominasi” dan “kekuasaan intelektual serta kepemimpinan moral” 
- Dominasi cenderung bersifat antagonis, karena sifatnya yang melikuidasi bahkan dapat menundukkan angkatan bersenjata (dalam hal politik yang mendominasi), yang kemudian mengarah pada kelompk kerabat atau sekutu. 
- Intelektual dan kepemimpinan moral yang memang harus memiliki jiwa pemimpin sebelum dipimpin oleh pemerintah itu sendiri (sebuah prinsip dalam suatu kondisi untuk memenangkan kekuatan), yang kemudian menjadi dominan saat menjalankan gerakan “kekuatan”.


II. The Concept of “Ideology”
Ideologi adalah sebuah aspek dari sensasionalisme atau aspek yang menggemparkan bagi orang-orang Perancis pada abad ke 18 material. Mempunyai makna asli berupa  “ilmu ide” atau “Ide gagasan”. Lalu Ilmu ide tersebut mulai dianalisis sejak metode analisis telah dikenali dan diterapkan. Analisis dilakukan dengan menyelidiki asal usul ideologi. Jika diuraikan, terdapat kata ide, dimana ide sendiri mucul ketika terdapat gejolak-gejolak ingin menyuarakan apa yang ada dalam diri seseorang.  
Bagaimana konsep Ideologi beralih dari makna "ilmu ide" dan "analisis asal usul ide” untuk memberikan arti spesifik dari “sistem gagasan” yang perlu diperiksa secara historis. De Man bahkan lebih penasaran - atau jika tidak ada pembenaran "praktis" antusiasme mereka. Orang harus memeriksa cara penulis Popular Manual [Bukharin] untuk tetap terjebak dalam Ideologi; sedangkan falsafah praksis mewakili kemajuan yang berbeda dan secara historis justru bertentangan dengan Ideologi.
Ideologi milik Marxis teah diasumsikan memiliki filosofi implisit yang mengandung nilai negatif dan tidak termasuk kemungkinan penilaian tersebut juga hinggap kepada pendirinya, maka asal-usul ide harus dicari dalam sebuah sensasi. Oleh karena itu, “ideologi” itu sendiri harus dianalisis asal usulnya dalam hal filsafat praksis sebagai suprastruktur(lembaga negara).
Terdapat elemen yang kemungkinan bisa terganggu ketika menilai nilai ideologi, karena faktanya nama ideologi diperuntukkan untuk suprastruktur(lembaga negara) dari sebuah struktur dan keadaan yang sewenang-wenang setiap individu  tertentu.
Perasaan buruk sebuah kata menyebar, efek analisis teori analisis dari konsep idelogi telah dimodifikasi dan di daur ulang. Proses mengarahkan masalah ini dapat dengan mudah direkonstruksi:
1. Ideologi diidentifikasi berbeda dari struktur, hal ini telah menjelaskan bahwa bukan ideologi yang merubah struktur, tapi sebaliknya, strukturlah yang merubah ideologi.
2. Deitegaskan bahwa pemberian solusi politik adalah ideologis, itupun tidak cukup untuk merubah struktur, meskipun telah ditegaskan bahwa itu tidak berguna  dan lain-lain.
3. Satu kemudian lolos ke pernyataan bahwa setiap ideologi adalah "murni" penampilan, tidak berguna, dan lain-lain.

Maka seseorang harus membedakan asal usul ideologi asli yang diperlukan untuk lembaga negara dan ideologi yang sewenang-wenang untuk kepentingan individu. Karena, ideologi asli diperuntukkan untuk lembaga negara, mereka dapat mengatur massa manusia, menggerakkan dan menyadarkan posisi perjuangan mereka, sedangkan ideologi untuk mereka yang sewenang-wenang hanya dapat menciptakan pergerakan individu yang kurang benar dan tidak berguna.
Marx pernah menegaskan bahwa kepercayaan populer seringkali memilki energi yang sama sebagai kekuatan meterial atau sejenisnya. Hal tersebut memperkuat konsep sejarah dimana kekuatan material adalah isi dan ideologi adalah bentuknya.

III. Cultural Themes: Ideological Material
Sebuah studi tentang bagaimana struktur ideologis kelas dominan sebenernya terorganisir, yaitu organisasi materi yang bertujuan untuk mempertahankan, membela dan mengembangkan teoritis dan ideology. Bagian yang paling menonjol dan dinamis adalah pers (rumah penerbitan, surat kabar politik, terbitan berkala, ilmiah, sastra, filologi, popular, dll. Jika studi semacam ini dilakukan dalam skala nasional, ini akan sangat berguna bagi pers. Oleh karena itu, seorang editor berita sebuah surat kabar harus memiliki peneletian ini sebagai garis besar untuk pekerjaannya.
Pers adalah bagian yang paling dinamis dari struktur ideologis ini, segala sesuatu yang mempersuasi opini public, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pers tidak mungkin menjelaskan posisi yang dipertahankan dalam masyarakat modern jika seseorang tidak menyadari upaya konstan dan sabar yang dibuatnya untuk terus mengembangkan bagian khusus dari struktur ideology material. Studi semacam itu, bila dilakukan secara serius akan menjadi sangat penting. Selain menyediakan model historis yang hidup dari struktur seperti itu, pers juga akan membiasakan seseorang untuk memprediksi kekuatan-kekuatan politik dan yang berlaku di masyarakat. Cara yang dilakukan kelas dominan untuk melawan kelas bawah adalah menyebarkan diri dari kelas dominan ke kelas yang merupakan sekutu potensial. Dan semua ini memerlukan ideology yang sangat kompleks.

DAFTAR PUSTAKA

- Durham, M.G & Kellner, D.M, (Eds).(2009) Sub-altern and concept of ideology. Hongkong: TJ International
Share
Tweet
Pin
Share
No pendapat

A.  Sejarah

Stuart Hall memetakan sejarah cultural studies yang telah ditemukan di akhir tahun 1950an dalam pelembagaanya di Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di tahun 1964, bersamaan dengan Richard Hoggart yang memang kedua cendekiawan ini saling terkait, terlebih ketika Hall menggantikan Hoggart sebagai direktur mengungkapkan istilah cultural studies pertama kalinya.

B. Definisi
Dalam buku “What is Cultural Studies”, edited by John Storey, 1997 menuliskan bahwa banyak sekali pendapat para cendekiawan yang bahkan belum dapat menemukan definisi cultural studies secara tepat. Colin Sparks dalam John Storey (1997:1) mengatakan bahwa
tidak mungkin dalam menanggapi persoalan hanya melihat satu sisi saja, kita bisa saja menemukan bidang yang tepat untuk sebuah budaya. Variasi gagasan, metode, dan kritik sastra sosiologi, sejarah, studi media dan yang lainnya, digabungkan bersama dibawah label budaya yang mudah ditemukan.

Dalam pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya, cultural studies adalah sebuah disiplin ilmu yang menanggapi sebuah persoalan dengan melihatnya dari berbagai sisi. Sebuah persoalan dapat dianggap salah pada suatu sisi namun dapat dibenarkan melalui sisi lainnya. Sebenarnya untuk menemukan definisi dari cultural studies itu dapat didasarkan pada tiga kriteria sebuah disiplin ilmu. Pertama adalah objek studinya, kedua adalah asumsi dasar yang mendukung metode pendekatan yang dilakukan, serta yang terakhir adalah sejarah disiplin ilmu itu sendiri. Menelaah dari kata “culture” dalam Cultural Studies, maka budaya tentu memiliki fokus tertentu. John Fiske dalam John Storey (1997:1) mengutarakan bahwa budaya di dalamnya tidak dapat diartikan dalam pengertian sempit. Agaknya budaya yang kita pahami selama ini adalah budaya yang memiliki nilai estetika tinggi sebagai bentuk kebiasaan suatu golongan yang dimaknai sebagai sebuah karya. Fiske, memiliki pendapat berbeda dengan budaya yang dimaksud dalam disiplin ilmu ini, dirinya berpendapat bahwa, pahamilah budaya dalam arti luas. Maksudnya adalah sebuah kebiasaan menjadi cara hidup baik individu, golongan maupun masa tertentu. Dapat diartikan layaknya bidang politik, sosial, maupun ekonominya. Bidang tersebut mengakar pada masyarakat dan menjadi cara hidup yang mereka lakukan dalam frekuensi terus menerus, bahkan dapat berubah sewaktu-waktu. Bahkan dalam prakteknya, budaya dapat dijadikan “seperangkat praktik representasi yang diperebutkan dan saling bertentangan yang terikat dengan proses pembentukan dan re -formasi kelompok sosial” (Frow and Morris dalam John Storey, 1997:2)
Cultural Studies lahir ditengah Neo-Marxisme yang mendefenisikan Marxisme itu sendiri. Cultural Studies mempunyai pandangan bahwa kapitalisme telah menciptakan kelompok elit kuasa untuk melakukan eksploitasi terhadap kelompok yang tidak berkuasa dan lemah. Marxisme mendasarkan pemikiran cultural studies menjadi dua, yaitu untuk memahami budaya kita harus menganalisa struktur sosial serta sejarahnya dan budaya telah mengelompokkan masyarakat industri kapitalis secara tidak setara (baik melihat gender, etnik, dan kelas).

C. Tokoh
Dalam perkembangannya, cultural studies didukung oleh ilmuan-ilmuan yang meneliti dalam bidang budaya khususnya. Setiap ilmuan juga memiliki sumbangsih tersendiri dalam perkembangan disiplin ilmu ini, diantaranya :
1. Chris Barker
Adalah profesor Ilmu Komunikasi di University of Wallongong Australia yang menulis sebuah buku tentang cultural studies. Dalam bukunya, beliau menyebutkan bahwa cultural studies adalah antidisiplin dan multidisiplin. Dikatakan antidisiplin karena cara penyidikannya yang tidak mengikuti aturan sebagaimana yang diterapkan ilmu lain. Multidisiplin karena cultural studies melihat suatu persoalan melalui berbagai perspektif. Dari bukunya ini lah, Barker melahirkan sebuah teori multidisipliner terhadap cultural studies.
Barker juga menyebutkan bahwa cultural studies memiliki acuan sebagai disiplin ilmu, pertama adalah relasi kuasa. Bahwa cultural studies mengungkapkan hubungan luas kekuasaan dalam membentuk budaya yang ada.
Menurutnya, kajian budaya lahir pada jaman strukturalis yang multidisipliner dan teori kritis multidisipliner. Maksudnya, kajian budaya mengkomposisikan berbagai teoritis yang dikembangkan sehingga cakupannya lebih luas terhadap potongan teori yang sudah ada.  
2. Paula Saukko
Paula Saukko mengemukakan bahwa kajian budaya dicirikan dengan topik lived experience (pengalaman yang hidup), discourse (wacana), text (teks) dan social context (konteks sosial). Dalam artikel Umayah menyebutkan, metodologi kajian budaya ini tersusun atas lived experience, discourse, text, dan social context yang menggunakan analisa luas mengenai interaksi yang hidup dengan unsur-unsur sekitar. Unsur yang dimaksud dapat berupa etnis, ras, agama, serta bidang ekonomi maupun politik.


DAFTAR PUSTAKA
l Storey, John. (1997). What is cultural studies, a reader. USA: St Martin Press
l Luzar, Laura. (2014). Cultural studies. Diakses melalui http://dkv.binus.ac.id/2014/09/21/cultural-studies/ pada 4 September 2017
l Fatoni, Ahmad. (2010). Cultural studies. Diakses melalui https://ahmadfatoniofficial.wordpress.com/2010/04/27/cultural-studies/ pada 4 September 2017
l Umayah, Choirul. Tokoh-tokoh ahli media dan kajian budaya. Diakses melalui https://www.academia.edu/12600274/Tokoh-tokoh_Ahli_Media_dan_Kajian_Budaya pada 5 September 2017
Share
Tweet
Pin
Share
No pendapat

ORIENTALISME
Adalah sebuah paham yang beranggapan dan berhubungan dengan informasi, budaya, bahan segala bidang dari daerah timur. Paham ini menganggap dirinya palik baik dan paling benar jika dibandingkan dengan budaya lain. Dikatakan bahwa, orientalisme sebenarnya adalah pusat. Pusat yang dimaksud adalah segala macam paham dan kebangkitan suatu bangsa, bermulanya dari orientalisme.
Dalam jurnal ini dikatakan bahwa orientalisme mempengaruhi agama di Timur, tepatnya adalah Islam. Namun, motivasi agama dalam orientalisme menghindarkan sifat murni agama yang sebenarnya. Seperti timbulnya keragu-raguan terhadap kerasulan Nabi Muhammad dan bahasa Arab yang tidak dianggap sebagai ilmu pengetahuan (hanya ebatas budaya saja.

OKSIDENTALISME
Jika dikatakan orientalisme sebagai pusat, maka oksidentalisme adalah periferi. Diibaratkan seperti sebuah lingkaran, maka oksidentalisme sebagai pinggiran luar. Artinya, paham ini sebagai batu loncatan bahwa perubahan ataupun kebangkitan bangsa dimulai dari paham oksidentalisme.
Oksidentalisme itu sendiri maksudnya adalah sebuah paham yang mengadopsi budaya barat namun dari sudut pandang non barat. Paham ini timbul akibat adanya persepsi bahwa budaya timur tidak lebih tinggi dibanding budaya barat (under-developed). Akibat dari persepsi inilah muncul pengkutuban antara barat dengan timur, dimana barat menganggap dirinya sebagai “Self” dan Timur sebagai “The Other”.

ISLAM
Sesuai dengan pembukaan atas pemahaman diatas, islam harus mengambil tegas atas tindakan yang diperoleh nya dari paham orientalisme. Perlu adanya dobrakan yang mengecam sifat murni dari islam itu sendiri, hal ini disebabkan karena paham orientalisme diadopsi pada ide kristenisasi. Padahal, islam adalah sebuah budaya yang statis, memiliki paham dan mekanismenya sendiri dan tidak dapat dicampur adukkan dengan berbagai perspektif, seperti ide orientalisme yang berasal dari kristen.
Pada masa kini, Islam terlihat makin tenggelam akibat adanya modernisasi. Ditakutkan peradaban islam tak kembali muncul jika berlarut larut dalam budaya konvensionalnya. Hanafi, sebagai ilmuan mesir berusaha mendobrak kembali kebangkitan islam dengan paham yang dianutnya.

HANAFI
Hanafi memiliki keinginan membangkitkan peradaban islam (renaisans Timur) dengan meniru pola Barat. Hanafi adalah orang oksidentalisme. Namun, pendapatnya tidak selalu dibatasi dengan asumsi dasar oksidentalisme. Hanafi tetap mempertahankan nilai-nilai murni dari Islam sebagai karakteristik sebuah bangsa. Dengan meniru pola Barat, harapanya Islam dapat kembali maju. Meniru pola Barat dalam spesifikasi adalah ilmu pengetahuannya, dimana Barat memang selalu unggul dalam penelitian dan bangsa Timur dijadikan sebagai objek penelitian.
Islam sebagai bangsa yang statis, sayangnya orientalisme beranggapan bahwa islam sebagai bangsa yang dinamis serta Barat adalah bangsa yang statis. Sesuai pertemuan minggu kemarin, Dimas Almu bertanya bahwa bukankah Barat adalah bangsa yang dinamis? Dalam konteks ini, Arab masih berpusat dan dekat dengan budaya Barat Eropa, yang memang memiliki pahamnya sendiri dengan tidak dicampuri oleh paham lain. Paham ini berupa fasisme, nazisme, rasisme dan lain sebagainya. Barat sebagai dinamis telah berpindah pusat sejak abad 20 ke Amerika, sebagai bangsa Barat yang memang selalui dinamis bahkan sebagian besar masyarakatnya belum memiliki kesatuan paham yang sama. Islam memiliki wahyu dan ada aturan-aturan didalamnya. Oleh sebab itulah, islam memang tidak bisa dipaksakan dalam menganut paham lain.
Artinya, perspektif islam berbicara bahwa semuanya sudah ada yang mengatur. Wahyu sudah ditulis sebelumnya untuk kemudian diberikan pada kaumnya. Inilah mengapa, Islam tidak bisa menggunakan metode historis (yang banyak diadopsi Oksidentalisme orang Barat) karena sifatnya yang parsial. Sejarah Islam, jika dijadikan beberapa potongan, akan menyebabkan hasil yang berbeda pula. Karena pada dasarnya antar peristiwa (yang nantinya akan menjadi beberapa bagian) memiliki kesinambungan dan saling berhubungan.
Arab dikatakan memiliki gerakan sentripetal, alias gerakan melingkar menuju pusat. Maksudnya adalah masyarakat arab yang berbeda-beda ini mengelilingi satu paham yang diyakininya, yaitu wahyu yang berada di pusat. Mereka meyakini bahwa wahyu adalah yang paling benar, sehingga wahyu ini berada di tempat yang tepat. Berbeda dengan barat yang bergerak sentrifugal, mereka bergerak kepinggir tanpa struktur, banyaknya hegemoni yang terus bertambah menyebabkan kesimpang siuran. Pertanyaan minggu lalu adalah Europsentrisme yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa europsentrisme adalah sebuah paham narsis tentang budaya Eropa, contohnya adalah mereka belum mau menggunakan produk yang berasal dari Timur, mereka belum mau bergaul dengan orang berkulit hitam, hal-hal seperti ini dapat ditemui dalam paham rasisme.
Share
Tweet
Pin
Share
No pendapat
PROPOSAL PENELITIAN


Penggolongan jenis penelitian sangat beragam tergantung dari sudut pandang masing-masing.  Salah satu penggolongan yang banyak digunakan adalah membedakan jenis penelitian ke dalam penelitian kuantitatif dan kualitatif. Masing-masing memiliki ciri-ciri yang berbeda.  Karena ciri-ciri kedua jenis penelitian ini berbeda, maka format proposal penelitiannya juga cenderung tidak sama.  
Secara garis besar, berikut disajikan format proposal kedua jenis penelitian tersebut.  Namun yang perlu diingat bahwa contoh format ini tidak baku,  setidak-tidaknya dapat dipakai sebagai acuan untuk penelitian yang lazim dilakukan di bidang ilmu sosial.

Tabel.  Format Proposal Penelitian Sosial
BAB
PENELITIAN  KUANTITATIF
(Mainstream, Positivistik)
PENELITIAN  KUALITATIF
(Non-mainstream, Non positivistik)

I







II




III







IV










--

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
1.3.2. Manfaat Penelitian
1.4. Orisinalitas Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.2. Kajian Empirik (Penelitian
       Terdahulu)

KERANGKA KONSEPTUAL
PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
3.2. Hipotesis
3.3. Definisi dan Pengukuran
Variabel
3.4.  Validitas dan Reliabilitas

METODE PENELITIAN
4,1, Pendekatan Penelitian
4.2. Penentuan Lokasi Penelitian
4.3. Teknik Pengambilan Sampel (Responden)
4.4. Tehnik Pengumpulan Data
4.5. Teknik Analisis Data




DAFTAR PUSTAKA


PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
1.3.2. Manfaat Penelitian
1.4.  Orisinalitas Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori (analisis kritik teori)
2.2. Kajian Empirik (Penelitian
       Terdahulu)

KERANGKA KONSEPTUAL
PENELITIAN
3.1. Alur Pemikiran
3.2. Penjelasan dan Indikator
       Konsep Penelitian
3.3. Keabsahan Data

METODE PENELITIAN
4.1. Pendekatan Penelitian
4.2. Fokus Penelitian
4.3. Penentuan Lokasi dan Situs
       Penelitian
4.4. Teknik Penentuan
       Informan
4.5. Teknik Pengumpulan
       Data
4.6. Teknik Analisis Data


DAFTAR PUSTAKA


Penjelasan  singkat Isi Proposal Penelitian


1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian
Berisikan suatu alasan atau rasionalitas mengapa suatu fenomena yang akan diteliti tersebut penting untuk diteliti.  Dimulai dengan deskripsi secara umum (makro) kemudian diarahkan untuk memaparkan adanya suatu permasalahan tentang fenomena yang akan diteliti.  Permasalahan ini ditunjukkan dengan adanya kesenjangan antara harapan (das Sollen) dengan kenyataan (das Sein) atau perlunya pemahaman tentang fenomena tersebut.  Dari permasalahan yang ada akan dicoba untuk dipahami atau dicarikan alternatif solusinya.

1.2. Perumusan Masalah
Dirumuskan secara detail tentang masalah yang akan diteliti. Perumusan masalah ini merupakan Pertanyaan Penelitian (Research questions), oleh karena itu umumnya dinyatakan dalam kalimat tanya.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Harus konsisten dengan rumusan masalah dan dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah yang telah ditetapkan.  Tujuan penelitian ini lazimnya dipaparkan dalam bentuk kalimat deklaratif.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Pada prinsipnya manfaat penelitian meliputi dua hal :
a) Manfaat akademis : untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan informasi bagi penelitian lebih lanjut.
b) Manfaat praktis untuk kebijakan.  Biasanya berupa masukan (input) bagi pembuat kebijakan atau kepada masyarakat.  Masukan harus konkrit dan usernya harus jelas dan spesifik.

1.4. Orisinalitas Penelitian  ……… posisi rencana penelitian kita dibandingkan penelitian sejenis yang sdh ada, missal : perbedaan teori, metode penelitian, dll.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori atau Kajian Teori
Untuk  kuantitatif, dipaparkan teori-teori yang dipakai sebagai landasan atau acuan penelitian.  Sedangkan pada penelitian kualitatif, dilakukan kajian kritis terhadap teori-teori yang dianggap terkait dengan penelitian.  Dalam hal ini, teori cenderung sebagai orientasi penelitian.
2.2. Kajian Empirik (Penelitian Terdahulu)
Dipaparkan hasil-hasil penelitian sejenis yang sudah pernah dilakukan.  Penelitian terdahulu ini tidak harus persis dengan topik penelitian yang diteliti, setidaknya mirip atau ada kesamaan tentang variabel-variabel atau konsep-konsep yang akan diteliti.

3. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran atau Alur Pemikiran
Merupakan review dari tinjauan pustaka dan kajian empirik untuk menggambarkan hubungan antar berbagai variabel (untuk peneltian kuantitatif)  atau konsep (untuk penelitian kualitatif) yang akan diteliti.  Dipaparkan dalam bentuk deskriptif dan gambar atau bagan.
Kerangka atau alur pikir.............mampu menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian.
3.2.   Hipotesis
Dirumuskan berdasarkan kerangka pemikiran.  Hipotesis ini merupakan kesimpulan  sementara (tentative conclusion) yang akan diuji berdasar-kan data empirik dari lapang.  Untuk penelitian kualitatif tidak diperlukan hipotesis.
3.3. Definisi dan Pengukuran Variabel (penelitian kuantitatif), Penjelasan dan
  Indikator Konsep (penelitian kualitatif)
  Variabel-variabel yang akan diteliti perlu didefinisikan dan dilakukan pengukuran secara jelas.  Konsep-konsep perlu dijelaskan disertai indikatornya.
3.4. Validitas dan Reliabilitas
         Validitas dan reliabilitas ini digunakan untuk mengukur instrumen yang digunakan dalam penelitian kuantitatif , yaitu kuesioner.  Untuk itu perlu dilakukan terlebih dahulu uji coba (try out) kuesioner di lapang dengan menggunakan sampel kecil.
Untuk penelitian kualitatif, dideskripsikan persyaratan keabsahan data, yang mencakup : kredibilitas, konfirmabilitas, dependabilitas dan transferabilitas 
        

4. METODE PENELITIAN

4.1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan atau jenis penelitian meliputi penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif/deskriptif. Bisa dikembangkan berdasarkan tujuan penelitiannya, misalnya kuantitatif eksplanatif, kualitatif eksploratif atau kualitatif deskriptif. Disarankan untuk memilih salah satu dari jenis penelitian tersebut.  Bagi peneliti yang sudah berpengalaman dan untuk tujuan tertentu, seringkali dilakukan kombinasi atau gabungan antara kedua jenis penelitian  tersebut (mixing method).  Dalam pendekatan kuantitatif umumnya menggunakan metode survey, sedangkan untuk pendekatan kualitatif banyak menggunakan metode studi kasus, fenomenologi, etnometodologi, etnografi, dll.

4.2. Fokus Penelitian  (lazimnya untuk penelitian kualitatif)
Penjabaran dari rumusan masalah dan tujuan penelitian.
Dengan fokus penelitian akan memudahkan peneliti untuk merencanakan data atau informasi apa yang akan dikumpulkan.  

4.3. Penentuan Lokasi Penelitian
Peneliti harus memahami kondisi lokasi yang akan diteliti,  apakah sesuai untuk dijadikan lokasi penelitian.  Pemilihan lokasi penelitian ini perlu disertai dengan alasan mengapa dipilih lokasi tersebut bukan di tempat atau lokasi yang lain.  Dalam penelitian kualitatif akan lebih lengkap bilamana ditambahkan situs penelitian yang merupakan sasaran atau obyek yang akan diteliti.

4.4. Metode Pengambilan Sampel (Sampling method)
Pada penelitian kuantitatif, metode pengambilan sampel sangat penting dan harus dipilih metode yang paling tepat.  Hal ini disebabkan karena kesimpulan yang didasarkan atas data dari sampel harus mewakili (representative) terhadap populasi. Untuk melakukan sampling, pertama-tama yang harus dilakukan adalah menyusun kerangka sampling (sampling frame).  Oleh karena itu, metode sampling dalam penelitian kuantitatif tergolong dalam probability sampling.
Sedangkan dalam penelitian kualitatif, umumnya menggunakan non-probability sampling.  Kesimpulan bukan dimaksudkan untuk mewakili populasi akan tetapi lebih kepada representasi terhadap fenomena yang diteliti.

4.5. Metode Pengumpulan Data
Dikenal banyak macam metode pengumpulan data, antara lain :
a) Wawancara (interview): digunakan untuk memperoleh data primer dari sampel atau responden / informan.  Instrumen wawancara yang dipakai dalam penelitian kuantitatif berupa Daftar Pertanyaan (Questionnairre = Kuesioner).  Kuesioner bisa bersifat terstruktur atau semi terstruktur.  Dalam penelitian kualitatif, dilakukan wawancara mendalam (indepth interview) yang sifatnya bebas atau tidak terstruktur.  Oleh karena itu, umumnya instrumennya berupa panduan wawancara atau catatan harian ( field notes ).
b) Observasi atau pengamatan.  Peneliti melakukan pengamatan tentang fenomena alam atau fenomena sosial yang ada kaitannya dengan fokus penelitian.  Pengamatan ini penting untuk melengkapi dan cross-check terhadap data yang diperoleh dari wawancara. Observasi bisa dilengkapi dengan pengambilan foto-foto yang relevan.
c) Dokumentasi : digunakan untuk memperoleh data sekunder misalnya yang bersumber dari dokumen-dokumen dari berbagai instansi terkait yang ada hubungannya dengan penelitian.

4.6. Metode Analisis Data
Pada prinsipnya dapat dibedakan dua macam analisis, yaitu :
a) Analisis Inferensial : berupa analisis statistik (baik statistik parametrik maupun non-parametrik) untuk mengambil kesimpulan kaitan antara variabel-variabel yang diteliti.  Kaitan antar variabel bisa bersifat : fungsional (pengaruh variabel terhadap variabel lainnya), hubungan (korelasi) atau perbedaan.  
b) Analisis Deskriptif : berupa uraian atau narasi tentang fenomena yang diteliti. Seringkali untuk memudahkan penarikan kesimpulan, menggunakan statistik deskriptif dalam bentuk tabel-tabel (cross table = tabel silang).
Analisis inferensial umumnya dilakukan untuk penelitian kuantitatif, karena bermaksud untuk menganalisis hubungan antara variabel.  Analisis deskriptif cocok dilakukan untuk penelitian deskriptif/kualitatif karena ingin menggambarkan/memahami fenomena yang diteliti secara mendalam.  



Share
Tweet
Pin
Share
No pendapat
Newer Posts
Older Posts

Blog Archive

  • ►  2010 (12)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Desember (11)
  • ►  2011 (2)
    • ►  Januari (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2012 (10)
    • ►  Januari (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  November (1)
  • ►  2013 (4)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Desember (2)
  • ►  2014 (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2015 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ▼  2017 (5)
    • ►  Maret (1)
    • ▼  Oktober (4)
      • KERANGKA PROPOSAL PENELITIAN
      • ARAB RESPONSSES TO HANAFI MUQQADIMA
      • CULTURAL STUDIES
      • SEJARAH SUBALTERN DAN KONSEP IDEOLOGI
  • ►  2018 (18)
    • ►  Januari (11)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Juli (4)
  • ►  2019 (9)
    • ►  Maret (9)

Entri Populer

  • DOWNLOAD MAKALAH NEGARA LAOS
  • DOWNLOAD SOUNDTRACK IKLAN WINDOWS 8

About Me

Unknown
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates