Disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester
mata kuliah Pengantar Ilmu Politik
Dosen Pengampu : Bapak Faqih Alfian S.IP, M.IP
OLEH:
Elita Priscilla 165120201111038
Dimas Bayu Kresna Murti 165120201111016
M Rizky Apriyawan 165120207111074
Dymi Marsa Levina C 165120200111024
Jatmiko Satrio Utomo 165120200111002
Intan Dwi Lestari 165120200111070
Oliver Armandito 165120207111027
Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Malang
2018
BAB I
LATAR BELAKANG
Politik tidak terbatas atas tatanan dalam sistem kenegaraan saja melainkan juga terdapat pada hal yang terkecil yaitu melalui pengambilan keputusan. Saat ini ilmu politik erat kaitanya dengan kekuasaan yang ada pada institusi kenegaraan atau bahkan merambat ke arah ranah yang lain. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik adalah bermacam macam kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses menentukan tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan itu (Budiarjo,1977). Dalam hal ini politik tidak diartikan dalam hal yang sempit yaitu tentang kekuasaan dan membatasi antara penguasa dan yang dikuasai. Dalam hal ini politik diartikan sebagai kegiatan yang memiliki sebuah tujuan dari sistem. Dalam artian ini politik tidak diartikan sebagai artian yang berkaitan dengan kekuasaan sebuah negara melainkan politik diartikan sebagai sebuah ilmu yang telah dilakukan sehari hari dan sangat erat kaitanya keseharian dari kehidupan masyarakat. Namun beberapa pandangan tradisional memandang politik berkaitan dengan kekuasaan negara. Hal ini juga tidak dapat dikatakan salah namun belum sepenuhnya benar.
Politik di Indonesia erat kaitanya dengan demokrasi yang ada di Indonesia. Demokrasi memiliki beragam bentuk namun bentuk demokrasi yang dianut oleh Indonesia adalah demokrasi pancasila. Demokrasi pancasila telah diatur dalam Undang Undang Negara Republik Indonesia. Demokrasi pancasila berarti menegakkan kembali azas-azas negara-negara hukum di mana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara, di mana hak-hak azasi manusia baik dalam aspek kolektif, maupun dalam aspek perseorangan dijamin, dan di mana penyalahgunaan kekuasaan, dapat dihindarkan secara institusionil (Budiarjo,1977). Dalam pengertian ini demokrasi yang dianut oleh indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan asas asas yang terkandung dalam pancasila. Pancasila sebagai dasar negara dan sebagai hasil pemikiran para pendahulu bangsa yang berisikan perpaduan budaya yang ada di Indonesia. Hal ini menjadikan demokrasi pancasila sebagai ideologi yang dianut oleh Indonesia yang memadukan konsep demokrasi dengan budaya lokal Indonesia.
Konsep demokrasi tentunya tidak dapat lepas dari pengambilan keputusan yang dilakukan sesuai dengan keputusan bersama. Hal ini termasuk dalam keputusan bersama dalam hal memilih pemimpin. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai pemilihan umum atau pemilu. Secara umum pemilihan umum lahir dari konsepsi dan gagasan besar Demokrasi yang berarti merujuk John Locke dan Rousseau, keterjaminan kebebasan, keadilan dan kesetaraan bagi individu dalam segala bidang (Bachtiar,2014). Pemilihan ini sebagai wujud dari demokrasi yang ada di Indonesia atau biasanya kita kenal dengan pesta demokrasi. Pemilu tidak hanya memilih kepala negara saja melinkan hingga ke ruang lingkup kepala daerah bahkan hingga ke tingkat kepala desa. Hal ini dinamakan sebagai pikada. Pemilu sendiri di fasilitasi oleh Komisi Pemilihan Umum mulai pada ranah pusat hingga ke ranah daerah. Dengan asas LUBERJURDIL atau Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil, menguatkan pemilu di Indonesia sebagai sebuah pesta demokrasi yang dirayakan oleh masyarakat Indonesia.
Perubahan UUD 1945 menjadi tonggak yang tak terpisahkan dari Reformasi. Bagi pendukung perubahan, apa yang dilakukan MPR selama periode 1999-2002 merupakan lompatan besar. Reformasi berjalan di alur yang benar karena tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Secara yuridis negara Indonesia telah melangsungkan 4 kali Pemilu pasca reformasi yang menandakan ada peraturan yang pasti berubah, dibandingkan dengan era orde baru. Pelaksanaan pemilu tidak terlepas dari perundang-undangan yang berlaku. Pemilu 2009 mengacu pada 4 undang-undang yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu. Sedangkan pemilu terakhir yang diselenggarakan adalah pemilu 2014. Pemilu tersebut mengacu pada 4 undang-undang yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu. Menurut Mahfud MD, hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum.
Politik hukum juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum. Lahirnya undang-undang pemilu 2009 dan 2014 tersebut tidak terlepas dari konfigurasi politik. Pelaksanaan pemilu 2009 dan 2014 merupakan pemilu yang bertepatan dengan Era Kabinet Indonesia Bersatu. Kedua pemilu tersebut memiliki politik hukum dan konfigurasi yang tercermin dalam sistem dan pelaksanaannya. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang dan intervensi-intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi.
Dalam perkembangannya, undang-undang yang telah lahir untuk menghundle pelaksanaan pemilu, mengalami gejolak politik akibat beberapa pihak merasa tidak puas terhadap klausula di beberapa pasal terkait undang-undang tersebut. Pemilu di Indonesia diatur dengan undang-undang pemilu yang selalu berubah-ubah karena kebutuhan perbaikan kualitas, karena pengaruh konfigurasi politik dan karena perubahan demografi-kependudukan dan peta pemerintahan.
Pemilu Indonesia memiliki perkembangan seiring dengan perkembangan yang ada di masyarakat Indonesia. Pemilu di Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun 1955 dan menghasilkan 27 partai politik yang memiliki kursi di DPR. Selanjutnya pada tahun 1971, diikuti oleh 10 partai politik dan memunculkan Golongan Karya sebagai pemenang pemilu. Pada tahun 1977 hingga tahun 1997 pemilu di indonesia hanya diikuti oleh 3 partai politik yaitu Golongan Karya, PPP, PDIP. Hal ini menjadikan Golongan Karya sebagai pemenang pada setiap pemilu yang ada pada tahun 1977-1997. Fase inilah yang disebut fase orde baru. Setelah tahun 1997 pemilu berkembang lebih baik dan diikuti lebih dari 6 partai dan terus bertambah seiring semakin banyaknya partai politik yang ada di Indonesia. Perkembangan ini yang kemudian mengikuti fenomena yang ada pada masyarakat.
Jika kita melihat ke belakang dari sejarah munculnya partai politik, dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan dan diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain. Partai politik umumnya dianggap sebagai manifestasi dari suatu sistem politik yang sudah moderen atau sedang dalam proses memodernisasikan diri. Maka dari itu, dewasa ini di negara-negara baru pun partai sudah menjadi lembaga pollitik yang biasa dijumpai. Faktanya, kondisi rakyat sekarang ini masih serba keterbelakangan dan ketidaktahuan politk, oleh sebab itu untuk merangsang patrisipasi politik secara aktif dari rakyat dalam usaha pembangunan, perlu adanya pendidikan politik.
Pemilu di Indonesia sering dibumbui dengan konflik konflik antara para pendukung ataupun juga pihak yang merasa dirugikan. Permasalahan pemilu yang ada di Indonesia tidak hanya sampai disitu melainkan juga termasuk pada keikutsertaan pemilih yang ada di Indonesia. Hal ini dinamakan Golongan Putih atau Golput. Golput dilakukan oleh banyak warga negara Indonesia karena terkadang banyak pemilih yang belum mengetahui secara baik calon yang mereka pilih. Atau bahkan mereka cenderung tidak puas atas calon yang muncul sebagai calon pemimpin mereka. Golput dinilai sebagai sebuah pilihan yang muncul dan tidak diindikasikan sebagai pilihan alternatif para pemilih yang kebingungan akan memilih calon yang mana. Seliain itu pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya memilih calon pemimpin dan cara bagaimana mereka memilih juga menjadi permasalahan yang ada pada pemilihan di Indonesia. Penyuluhan yang kurang merata atau pada waktu yang telah berdekatan dengan waktu pemilihan juga menjadi alasan pemilu di Indonesia belum berjalan secara efektif.
Ruang lingkup desa menjadi sorotan yang perlu diamati secara seksama mengenai partisipasi pemilu yang ada di Indonesia. Karena pada ruang lingkup ini masyarakat belum memiliki pengetahuan yang cukup dalam mengenai pemilu mulai dari tahapan pemilu itu seperti apa hingga bagaimana latar belakang calon yang menjadi bakal pemimpin mereka setelah terpilih. Proses penyuluhan mengenai pemilu yang kurang luas dari KPUD sekitar juga menjadi salah satu indikasi alasan mengapa warga desa belum mengetahui secara menyeluruh. Selain itu masalah terkait tidak terdaftarnya para pemilih di desa juga menjadikan problematika yang dapat diteliti. Hal ini dapat mempengaruhi partisipasi dari para pemilih di desa yang telah meluangkan waktunya untuk datang ke TPS.
BAB II
GAMBARAN UMUM
Kecamatan Kasembon merupakan kecamatan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Malang yang letaknya terpisahkan oleh Kota Batu. Dikutip dari ngalam.co kecamatan ini terdiri dari enam desa, 41 dusun, 67 RW, dan 192 RT. Kecamatan Kasembon dikelilingi oleh kecamatan lainnya, di sebelah utara Kasembon berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto, di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pujon, di sebelah selatan berbatsan dengan Kecamatan Ngantang, dan di sebelah baratnya berbatasan dengan Kecamatan Kangdangan yang sudah termasuk Kabupaten Kediri.
Seperti sebuah kecamatan pada umunya, Kecamatan Kasembon dipimpin oleh seorang Camat. Dalam mengemban tugasnya sehari-hari, Camat Kasembon dibantu oleh beberapa staf. Kantor Kecamatan Kasembon yang terletak di Jl. Raya Kasembon Kasembon No. 7 Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang 65163 (Akaibara, 2016, dikutip dari ngalam.com)
Dikutip dari lama resmi kasembon.malangkab.go.id, Kecamatan Kasembon memiliki luas wilayah 55,67 km2 (1,87 % luas Kabupaten Malang). Sebagian besar wilayah kecamatan ini didominasi oleh area hutan, perbukitan dan dataran tinggi. Ketinggian rata-rata di daerah ini adalah 25 persen dari permukaan laut. Kawasan kecamatan ini memiliki curah hujan rata-rata berkisar antara 1.328 hingga 1.448 mm per tahun. Kasembon memiliki penduduk sejumah 33.219 jiwa/Juni 2014, di antaranya 15.832 (50,2%) orang laki-laki dan 15.707 (49,8%) orang perempuan. Mayoritas penduduknya didominasi oleh pemeluk agama Islam.
Dikutip dari laman resmi, persebaran jumlah penduduk di masing-masing desa adalah sebagai berikut; Desa Kasembon, Laki – laki sebanyak 2581 dan Perempuan sebanyak 2515, Desa Sukosari, Laki-laki sebanyak 3099 dan Perempuan sebanyak 2928, Desa Wonoagung, Laki-laki sebanyak 2179 dan Perempuan sebanyak 2144, Desa Pait, Laki-laki sebanyak 2359 dan Perempuan sebanyak 2254, Desa Bayem, Laki-laki sebanyak 3154 dan Perempuan sebanyak 2980, Desa Pondokagung, Laki -laki sebanyak 3444 dan Perempuan sebanyak 3582
Pekerjaan penduduk Kecamatan Kasembon didominasi oleh Petani dan buruh tani. Dikutip dari laman resmi kecamatan kasembon, masing-masing mata pencaharian dan jumlah orangnya adalah sebagai berikut; Peternakan 11 orang, pedagang 2500 orang, PNS 479 orang, TNI/POLRI 27 orang, buruh pabrik/ industry 1540 orang, penambangan 85 orang, buruh tani 9976 orang, buruh bangunan 187 orang, pensiunan PNS/TNI/POLRI 89 orang, petani 11432 orang, Jasa (ojek atau supir) 37 orang.
Desa yang menjadi target sasaran penelitian kami adalah Desa Bayem. Dengan jumlah penduduk terendah kedua setelah Desa Wonoagung, Desa Bayem yang terkenal dengan wisata raftingnya ini memiliki jumlah penduduk kurang dari 5.000 jiwa. Sebagian besar penduduknya merupakan petani, buruh tani, dan buruh pabrik. Fasilitas yang dimiliki oleh desa ini antara lain tempat ibadah dan taman bacaan. Kondisi Desa Bayem juga terlihat cukup baik dengan jalan yang sudah teraspal memudahkan warganya untuk bertransportasi.
Berbicara mengenai kondisi PEMILU di Desa Bayem, sosialisasi mengenai PEMILU sebelumnya biasanya dilakukan di balai desa atau minimal jika ada rapat satu dusun, PPK dari kecamatan turun ke desa. Sosialisasi di tingkat RT masih jarang dilakukan. Sosialisasi biasanya hanya dari mulut ke mulut, karena lingkupnya kecil. Menurut salah satu narasumber, antusiasme warga dari tahun ke tahun stabil dan tetap bagus. Biasanya yang menghalangi partisipasi pemilu adalah pekerjaan mereka sebagai petani (waktu mepet dengan pengambilan suara). Namun, jika PILKADES dan PILGUB mereka lebih menyempatkan diri untuk mengambil suara ke KPU. Penentuan sikap diambil di hari menjelang PILPRES. Kondisi PEMILU 2014 lalu di Desa Bayem cukup kondusif. Namun, ada beberapa halangan misalnya banyak warga yang tidak terdaftar di data warga yang mempunyai hak pilih.
Pemilu merupakan pesta demokrasi di Indonesia yang sudah direncakan dari awal mula kemerdekaan Indonesia, tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan Pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946.
Tidak terlaksananya Pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling disebabkan karena Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu dan belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain, para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan Pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan Pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undangundang Pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi. Patut dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu, sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan Pemilu dengan segala cara. Karena Pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan Pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partaipartai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof. Ismail Sunny — sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree. Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Soekarno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan Pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden, Soeharto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Soekarno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama. Pada prakteknya, Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
UU yang diadakan adalah UU tentang Pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun. Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuanketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
Tujuan dari Pemilu adalah menciptakan peluang bagi individu untuk mengidentifikasikan dan mengejar preferensi politik mereka, berpartisipasi dalam proses politik dan meminta pertanggung jawaban dari perwakilan mereka tanpa rasa takut akan penindasan atau kekerasan (Annan, dkk 2012). Berbicara kondisi Pemilihan Umum Pada tahun 2014, pemilu pada waktu itu diselenggarakan dalam dua jenis, yaitu Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu eksekutif, yang lebih dikenal dengan sebutan pemilihan presiden (Pilpres) (Suryana, 2013, h:162).
Dikutip dari jurnal yang diterbitkan oleh BPPKI (2013), pada pemilu legislative 2014, partai politik dan tokoh politik telah menunjukkan sikap agresifnya dalam menyosialisasikan keberadaannya. Komunikasi politik yang dilakukan pra kampanye dilakukan dengan mempergunakan saluran media massa terutama televisi. berbagai tayangan yang berisikan pesan politik individu maupun organisasi politik kerap ditayangkan dalam berbagai media massa seperti televisi. Namun seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, politisi dan kandidat presiden juga memanfaatkan media online termasuk di dalamnya media sosial sebagai sarana untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan calon pemilih serta sebagai sarana untuk berkampanye. Aktivitas tersebut sudah jamak dilakukan mengingat pengguna media online di Indonesia terus bertambah dari waktu ke waktu. Selain melalui televisi, iklan politik bisa juga dilakukan melalui media informasi lainnya seperti melalui radio, papan reklame, spanduk, baligo, dan lainlain. (suryana, 2013; h 163)
Dari dua jenis Pemilu ini, yang dinamika politiknya paling tinggi adalah Pilpres. Untuk pelaksanaan Pilpres 2014 ini terlihat dan terasa suasana pesta demokrasi dan dinamika politiknya. Di kalangan masyarakat bawah (grass root)-pun Pilpres 2014 ini sudah menjadi konsumsi sehari-hari, menjadi bahan pembicaraan/perdebatan atau obrolan politik di warung-warung kopi, tempat-tempat pos ronda/kamling, tempat-tempat pertemuan masyarakat sekitar lingkungan RW, termasuk di tempat-tempat pengajian.
Pada tahun 2014, ada 10 partai yang mengikuti pesta pemilihan rakyat ini, mereka adalah Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Persatuan Pembangunan (PPP). (dikutip dari bbc.com)
Kampanye pada PEMILU 2014 pun mempunyai beberapa aturan diantaranya; Pasal 86 ayat (1) huruf h yang terkait dengan penggunaan fasilitas kampanye. Fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan pendidikan dilarang untuk digunakan sebagai tempat kampanye, kecuali individu yang diundang secara resmi oleh pihak penanggungjawab kegiatan tanpa menggunakan atribut kampanye. Lalu dilarangnya kampanye iklan yang mengganggu kenyamanan.
Sementara itu Pasal 132 Ayat (1) tentang dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan, tidak boleh melebihi Rp. 1 miliar sementara untuk Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain, kelompok, perusahaan, maksimal Rp. 5 miliar. Untuk DPD Sumbangan Dana kampanye yang berasal dari perseorangan tidak boleh melebihi Rp. 250 juta. Dan sumbangan yang berasal dari kelompok atau perusaahan tidak boleh melebihi Rp. 500 juta https://news.detik.com/berita/1859775/inilah-aturan-kampanye-pemilu-2014
Kondisi PEMILU 2014 terkait partisipasi rakyat dalam pemilihan suara, yaitu jumlah pemilih dalam DPT untuk Pemilu Legislatif 2014 mencapai 185.826.024 orang, namun yang menggunakan hak pilih mencapai 139.573.927 orang. Sementara itu, dua keputusan KPU tentang hasil rekapitulasi suara Pemilu Legislatif 2014, menyebutkan total suara sah adalah 124.972.491 suara. Dari konversi jumlah pemilih berdasarkan klaim partisipasi dan total suara sah ini, terdapat selisih 14.601.436 suara yang tak masuk dalam perhitungan suara sah nasional. Hal ini berarti angka golput mencapai 24,89 persen. (Auliani, 2014, https://nasional.kompas.com/read/2014/05/10/0852321/Lebih.dari.14.Juta.Suara.Pemilu.Legislatif.2014.Rusak)
BAB III
ANALISA
Desa Bayem sebagai sebuah desa yang memiliki akses cukup mudah untuk mendapatinya di Kecamatan Kasembon dalam penyuluhan KPU tentang pemilu ternyata masih di luar dugaan. Akses yang mudah adalah salah satu syarat sebuah tempat mendapatkan informasi yang cukup dan layak. Namun sangat disayangkan terkait hasil wawancara yang kami peroleh. Dalam wawancara yang kami lakukan terhadap tiga orang (dipilih secara acak) ternyata dua diantaranya adalah seorang petinggi desa, atau orang-orang yang memiliki pengaruh terhadap desa itu sendiri. Kedua orang tersebut yakni Pak Iswan selaku ketua RW dan juga Pak Hariyanto, Dinas Pendidikan. Kedua narasumber ketika ditanyai perihal penyuluhan KPU tentang Pemilu terhadap warga desa menjawa dengan kompak yaitu telah diadakannya penyuluhan KPU terhadap petinggi-petinggi terlebih dahulu, hal ini seperti ketua RT maupun RW dalam suatu ruangan, untuk kemudian warga sipil diserahkan pada mereka. Pak Hariyanto, Dinas Pendidikan mengaku bahwa informasi-informasi tentang penyuluhan tersebut kemudian disebarkan melalui world of mouth. “Ya bisa disebarkan sambil nongkrong di warung kopi gitu….” ujar Pak Hariyanto. Namun nampaknya strategi seperti ini belum cukup efektif distribusi informasinya ketika salah satu warga bernama Sumiarti kami wawancarai. Dalam hal ini, Ibu Sumiarti beranggapan bahwa belum diadakannya penyuluhan sosialisasi oleh KPU tentang pemilu. Pada dasarnya strategi distribusi informasi yang dikemukakan oleh Pak Hariyanto memiliki efektivitas yang kecil, melihat bahwa segmentasi daripada orang-orang yang berkumpul di warung kopi sebagian adalah laki-laki. Perbedaan aktivitas yang cukup mencolok juga terlihat pada Desa Bayem, yakni pagi siang hari didapati banyak perempuan yang melakukan aktivitas di rumah seperti menjemur, memasak, berkumpul, dan sekadar berbincang. Sedangkan laki-laki kami dapati sedang mengerjakan lahan, membetulkan mobil di bengkel, dll. Sehingga penyebaran informasi di dalam penyuluhan oleh KPU tentang pemilu dapat disebut tidak merata, karena segmentasi yang dianggap kurang. Terlebih, pejabat-pejabat desa yang kami temui mayoritas adalah laki-laki, sehingga perbedaan perilaku dan pola hidup juga memengaruhi seberapa luas informasi tersebut dapat disebarkan.
Setelah penyuluhan sosialisasi yang dilakukan oleh KPU, tentu terdapat masa-masa kampanye sebelum pemilu diadakan. Kampanye yang dilakukan melalui banyak media, media tersebut dapat berupa banner, konvoi menggunakan mobil dan pengeras suara, pidato, maupun iklan kampanye di media elektronik seperti televisi. Dalam wawancara yang kami lakukan untuk meneliti terpaan isu melalui berbagai media terkait calon-calon yang mereka unggulkan, kami mendapatkan hasilnya. Tiga dari tiga narasumber kami alias keseluruhan menjawab dengan yakin bahwa terpaan media sama sekali tidak berpengaruh terhadap calon yang mereka unggulkan. Agaknya, mereka juga menyadari bahwa isu-isu yang dilempar oleh media adalah sebagian dari pada kampanye untuk menjatuhkan lawannya.”Kampanye itu ya gepuk (memukul). Mereka selalu bicara jeleknya saja. Ya gitu kampanye” ujar Bapak Iswan selaku Ketua RW di Desa Bayem. Beberapa isu yang coba kami lontarkan seperti #2019GantiPresiden. Bahkan statement tentang Prabowo bahwa 2030 Indonesia akan bubar justru ditanggapi dengan cukup religius. Dua narasumber kami yakni Bapak Iswan dan Ibu Sumiarti menjawab bahwa statement yang demikian adalah hal yang tidak benar. Mereka merasa bahwa kehendak seperti ini hanya dikehendaki oleh Tuhan, sehingga kepercayaan tentang 2030 Indonesia Bubar adalah suatu kepercayaan yang salah. “Karena bagaimana nantinya, Allah yang mengatur” ucap Ibu Sumiarti. Sehingga, patut diacungi jempol bagaimana penduduk di Desa Bayem mampu membentengi pemikiran-pemikirannya terkait dengan isu-isu yang diberikan oleh media terhadap paslon-paslon dalam pemilu. Penduduk telah mampu memilah informasi dengan baik dan benar, setidaknya mereka tidak menelan informasi tersebut bulat-bulat. Kesadaran yang cukup tinggi ini dapat disimpulkan sebagai pengetahuan dan wawasan mereka tentang budaya politik di Indonesia yang cukup beragam bentuknya adalah sangat tinggi. Bahwa persepsi-persepsi masyarakat kota pada umumnya, menganggap bahwa penduduk desa (utamanya di pinggiran) adalah mereka bangsa yang dengan mudah kena sogok entah berupa uang maupun informasi, adalah salah. Hal ini telah terbukti melalui wawancara yang kami lakukan pada sampel acak di Desa Bayem, Kecamatan Kasembon.
Seusai masa kampanye, maka tibalah masa dimana hari pemilihan telah tiba. Pemilu ini dilakukan guna memilih diantara paslon-paslon untuk kemudian suara terbanyaklah yang menjadi pemimpin. Pemilu yang dapat kita temui dari nasional hingga regional yakni Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Gubernur (Pilgub), Pemilihan Bupati/Walikota (Pilbup/Pilwali), Pemilihan Kecamatan (Pilcam), dan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Partisipasi warga Desa Bayem terhadap pemilihan-pemilihan diatas rupanya tidak merata. Hal ini dibuktikan dalam wawancara kami terkait antusiasme warga dalam pemilu di berbagai tingkat. Ketua RW yakni Bapak Iswan mengaku bahwa antusiasme warga tiap tahunnya adalah naik turun. Artinya, warga perlu diajak terlebih dahulu untuk kemudian ikut memberikan suaranya dalam pemilu. Namun, ketika kami mewawancarai kedua narasumber lainnya, kami mendapati jawaban yang berbeda. Salah satu warga yang rumahnya kerap kali dijadikan Tempat Pemungutan Suara atau TPS mengaku bahwa antusiasme warga sangat tinggi setiap kali diadakan pemilu. Begitu juga Ibu Sumiarti yang mengaku bahwa, tingginya antusiasme warga dalam pemilu karena suara mereka juga menentukan siapakah orang yang akan memimpin mereka selama jangka waktu kedepan. Pesta demokrasi ini rupanya cukup dinantikan banyak orang di Desa Bayem, Kecamatan Kasembon, Hanya saja, antusiasme warga dalam pemilu tidak merata, artinya hanya beberapa pemilu dalam cakupan tertentu saja yang memiliki antusiasme cukup tinggi. Bapak Hariyanto dan Ibu Sumiarti memberikan informasi yang sepadan bahwa antusiasme warga terhadap Pilpres tidak setinggi antusiasme warga terhadap Pilkades atau Pilbup. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh langsung dan cukup besar yang akan mereka rasakan jika memilih calon A sebagai Kepala Desa atau sebaliknya. Kedekatan pemimpin dengan wilayah regionalnya adalah hal yang mereka utamakan. Dekat yang dimaksud disini adalah cakupan wilayah yang dipimpin dapat berpengaruh secara langsung dan merata. Berbeda halnya dengan Presiden yang mereka rasakan tidak menimbulkan efek apapun, hanya sedikit kebijakan Presiden yang mereka rasakan di dalam wilayah mereka, sehingga mereka lebih memilih berbondong-bondong ikut dalam pesta demokrasi yang melibatkan wilayah cukup sempit yakni kabupaten dan desa mereka sendiri. Berbondong-bondong disini dapat dilihat dari perbedaan yang cukup mencolok. Bapak Hariyanto menjelaskan bagaimana seorang bapak-bapak yang pagi hingga siang hari seharusnya mencangkul di sawah, dirinya rela untuk menyempatkan ke TPS mengantri dan memilih di Pilbup maupun Pilkades. Berbeda dengan pola yang dilakukan masyarakat ketika Pilpres diadakan, mereka justru memilih mengelola ladang dibandingkan harus datang dan mengantri di TPS. Diungkapkan pula, pola-pola seperti ini selalu terjadi setiap pemilu, sehingga memang warga Desa Bayem, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang dapat dikatakan lebih antusias terhadap Pilbup dan Pilkades.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari Transkrip ketika sumber yang diperoleh dapat kelompok kami simpulkan ada beberapa point-point yang bisa dikita analisis, sebagai berikut :
· 2/3 narasumber yang merupakan pejabat desa mengatakan bahwa KPU sudah melakukan sosialisasi di RW tersebut. Namun 1/3 warga desa mengatakan KPU belum melakukan sosialisasi hal ini menandakan bahwa sosialisasi yang dilakukan belum merata.
· Terpaan media/isu-isu tidak membuat warga terpengaruh terkait keyakinan pilihan dia. Ada nya keyakinan yang kuat, membuat mereka kukuh dalam menentukan pilihannya.
· Ketua RW mengatakan bahwa antusiasme warga naik turun karena harus diberikan ajakan dulu. Namun hal ini ditolak oleh dua warga narasumber, menurutnya antusiasme warga sangatlah tinggi. Analisa kami menandakan bahwa memang warga sekitar memang sadar terkait adanya pemilu, sebuah pesta demokrasi.
· Beberapa isu yang dilemparkan pada warga ditanggapi dengan kepala dingin. Hal ini menandakan bahwa beberapa kampanye yang ditemui 2-3 bulan sebelum pemilihan adalah suatu hal yang biasa dalam menyambut pemilu. Hal ini tidak mempengaruhi kognisi masyarakat terkait pilihannya sama sekali. Pengetahuan warga terkait kampanye cukup tinggi, artinya seperti beberapa cuitan netizen, atau mars di dalam tv mereka sadari dengan baik bahwa hal tersebut merupakan bagian dari kampanye.
· Menurut beberapa narasumber, hasil dari PILPRES tidak berpengaruh pada kehidupan mereka. namun demikian, hasil dari PULBUP dinilai lebih berpengaruh pada kehidupan mereka.
· Menurut beberapa narasumber, hasil dari PILBUP dinilai lebih berpengaruh pada kehidupan mereka daripada hasil PILPRES.
LAMPIRAN
TRANSKRIP WAWANCARA I
Pertanyaan
|
Jawaban
|
M. Rizky A., Univ Brawijaya
|
Iswan, Pak RW
|
Menurut bapak pemilu itu seperti apa?
|
Pemilu itu sangat cocok untuk di negara kita, demokrasi. Pergantian pemimpin itu tidak ‘berdarah’ seperti kerajaan dulu itu, mas. Kalau pemimpin kurang baik, bisa dilakukan pemilihan dulu, ya musyawarah juga mas.
|
Pemilu yang terjadi di kawasan ini seperti apa?
|
Pemilu itu seakan-akan kroyokan jadi pemimpin. Namun, bagi saya, kaya pilkades gitu. yang jadi itu dihargai, kalau ga jadi ya didukung
|
Sebagai bapak RW, bagaimanakah pemahaman warga terkait pemilu?
|
Warga sini itu ada tiga lapis ya mas. Pertama, ada yang sekolahnya tinggi, kedua ada yang sekolahnya biasa, terakhir ya tamatan sd. Menurut saya ya kurang paham mas. Kurang paham nya ya gitu, pilihanku pokok kudu menang (harus menang). Ada juga club yang seperti ‘aku gak seneng karo iku’ (aku tidak suka dengan dia), memang ada mas yang seperti itu.
|
Bagaimana sosialisasi KPU tentang pemilu kepada masyarakat?
|
Sosialiasi itu utamanya RT RW dikumpulkan dulu di desa. Ya ada fase-fase nya lah. Kalau mau pemilu dulu, pertama ya dari desa, baru diberi pemahaman ke RT RW.
|
Bagaimana tanggapan bapak tentang pilpres 2019 mendatang ?
|
Saya itu hanya pendengar setia, saya hanya penduduk. Menurut saya, ini sudah masuk kampanye walaupun belum jelas (belum waktunya). Seakan-akan itu mereka mencuri start duluan. Seperti Jokowi sudah merapat, Pak Prabowo juga sudah merapat.
|
Bagaimana tanggapan bapak tentang ungkapan Prabowo bahwa 2030 Indonesia akan bubar?
|
Sebenarnya itu ya tantangan bagi anak muda toh mas. Kawula muda itu harus menyikapi, harus semangat, gimana biar adil ya piye.
Tapi kalau saya melihat menurut agama, yo gak mungkin. Kita hanya manusia kok. Ya kalau Tuhan menghendaki.
|
Ada pula isu tentang #2019IndonesiaGantiPresiden, bagaimanakah tanggapan bapak terkait hal tersebut?
|
Bahasa itu menurut saya ya kampanye itu mas. Kampanye itu ya gepuk (memukul), yang dikatakan ya jeleknya aja mas. Kalau dibilang jeleknya, ya diam aja mas, ga gitu wah ya kalah mas, sampeyan. Itu sudah biasa mas kalau di kampanye.
|
Ada pula isu tentang Pak Jokowi dan Pak Prabowo akan jalan bersama dalam pilpres, bagaimana tanggapan bapak?
|
Kalau begitu, yo opo gelem dientekno sitok? (apakah mau yang satu diturunkan?). Apalagi pak Prabowo itu ya punya pangkat toh, mosok mau. Kalo Jokowi ya mau dibilang presiden kurang berwibawa ya gimana, memang perawakannya ya gitu toh mas.
|
Bagaimana kepemimpinan Jokowi, menurut bapak?
|
Selama ini saya lihat ya dari KPK, baru sekarang KPK sampek bisa nyekel (bisa menangkap) bupati, Kota Batu itu ya kena. Tapi menurut saya ya bagus, lek presiden elek yo pasti ono elek e (pasti ada jeleknya).
|
Bicara tentang Jokowi, Presiden Jokowi banyak memasukkan tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia, bagaimana tanggapan bapak?
|
Saya itu kasihan sama generasi muda. Kenapa kok gak pakai generasi muda? Tapi apakah generasi muda bisa menggantikan peran itu? Ya kalau tidak bisa ya sudah, berarti ya sudah benar. Daripada diisi sama orang yang gak berkemampuan, yo malah rusak toh mas, mbak. Tapi kalau ada kemampuan, kenapa kok bukan generasi muda gak dipake? (tidak dipekerjakan?).
Saya ya jujur, tidak terima, tapi kalau ada perjanjian internasional, waduh, saya ya gatau.
|
Harapan bapak tentang Pilpres 2019?
|
Kedepannya untuk permasalahan pilpres, mendapatkan sosok pemimpin yang diharapkan rakyat. Dan berkampanye-nya, ya nyuwun sewu, (permisi), sedikit jangan memakai uang lah. Politik uang itulah.
|
TRANSKRIP WAWANCARA II
Pertanyaan
|
Jawaban
|
Dymi Marsa, Univ Brawijaya
Jatmiko, Univ Brawijaya
|
Hariyanto, Petani dan Dinas Pendidikan, DPD
Dewiyani, Ibu Rumah Tangga
|
Apakah pengetahuan bapak dan ibu terkait pemilu?
|
Ya kalau bicara pemilu sebenarnya, warga-warga disini itu biasa-biasa saja kalau tentang pesta demokrasi. Pilihannya jatuh kesiapa, tergantung masing-masing warga. Kebetulan setiap ada pemungutan suara tempatnya disini, rumah besar di situ (sebelah).
Kalau masalah pemilu, ya saya ikut menangani, kalau ibu ini juga ikut membantu pemilu disini yang berhubungan dengan DPT/DPS nanti dari petugas ke RT/RW kalau tidak ya langsung ke kader-kader.
|
Untuk KPU di daerah sini, apakah KPU sudah melakukan penyuluhan atau sosialisasi?
|
Sosialisasi itu biasanya dipusatkan di balai desa, atau kalau ada rapat dusun/rapat warga, itu dimunculkan sedikit di dalamnya. Tapi kalau agenda nya sebelum pemilu, ya di balai desa, tetap ada dan dilaksanakan ya. Sosialisasi tingkat RT ya jarang, biasanya di desa atau minimal tiga RW.
Nanti warga akan mengerti dengan sendirinya, perwakilan kan ada yang ke balai desa, nanti pulang ya dikasih tau, dari mulut ke mulut. Karena warga desa kan peka, sangat dekat. Kaya cangkrukan gitu. Cukup tokoh masyarakat aja yang kesana, nongkrong, wes itu sanggup
|
Bagaimana antusiasme warga terkait pemilu?
|
Dari tahun ke tahun tetap semangat, semangatnya tinggi, pesta demokrasi apa saja. Yang penting diikuti saja. Ya kecuali wajar, kalau bapak bapak yang ke ladang/sawah. Kadang waduh jam samene wayahe nang ladang. Tapi sebenarnya ada keinginan untuk kesana. Kalau ada waktu luang ya jam 12 gitu, mereka bisa ya hadir. Seperti hari libur gitu, ya mungkin mereka bisa datang.
Kecuali kalau pilkades ya, biasanya mereka berusaha datang, hadir di pemungutan suara. Berusaha piye calone dadi, kan ya wilayahnya sendiri. Kalau pilgub, pilpres ya nggak begitu. Minimal itu pilkades sama pilbup, iku seng diabotno.
|
Bagaimana tanggapan bapak terkait Pilpres 2019?
|
Kalau pilpres sementara kan belum muncul di media massa, artinya dari calon kan belum muncul. Tahapannya kan pileks dulu, baru calon pilpres sudah muncul. Nanti saja di hari menjelang itu, baru menentukan sikap. Kalau sepak terjang ya, saya rasa bagus, yang jadi siapa, yawes itu
|
Bagaimanakah tanggapan bapak tentang penerapan pemilu di Indonesia?
|
Kalau saya ya sudah bagus ya, berjalan dengan lancar. Seperti di Lembaga Survey itu, sudah dikawal terus, jujurnya, adilnya. Artinya dari lembaga survey ada 5 kriteria, yang 4 sudah bagus, yang 1 belum. Ya itu wajarlah. Saya lihatnya dari lembaga survey itu lah. Sudah mendekati 100% ya. Secara umum, ya bagus lah.
|
Menurut bapak, bagaimana pilpres yang bapak inginkan untuk kedepannya?
|
Sebetulnya aturannya sudah tepat. Contohnya sekarang yang jadi panitia di TPS itu, kalau dulu orang tua kan bisa masuk, padahal kan harusnya istirahat, diganti generasi muda. Sekarang aturannya yang sudah 2 kali panitia, sudah tidak bisa ikut TPS. Semuanya harus pernah jadi panitia, gitu, minimal ada ijazah SMA juga. Dari KPU Pusat, aturannya sudah bagus. Terkadang yang dipelosok pinggiran, ada kendalanya seperti di satu dusun, syarat minimal 1 SMA tidak terpenuhi, akhirnya gimana? Disiasati ya SMP.
|
Menurut informasi yang kami kumpulkan, bagaimana tanggapan bapak tentang ungkapan Prabowo 2030 Indonesia bubar? Dan juga tentang #2019GantiPresiden ?
|
Begini kalau saya pribadi termasuk keluarga. Kalau urusan pimpinan, Jokowi ya wes sudah berjalan bagus, karena itu kan pilihan masyarakat, programnya ya oke-oke.
Lawannya seperti Prabowo waktu itu, tanggapan 2030 itu, ya itu tanggapan nya kepada Jokowi. Itu ya, menurut kami, itu urusannya elit-elit diatas. Tidak terpengaruh lah. Sudah wajar, kalau dalam waktu dekat punya ide-ide semacam menjatuhkan mental. Kalau pilihan ya saya serahkan di tahun 2019, calonnya siapa
|
Apakah hal-hal tersebut melalui terpaan media dapat mempengaruhi pilihan-pilihan dari bapak dan ibu maupun warga desa?
|
Ya gak pengaruh, kalau pilihannya Prabowo ya Prabowo, Jokowi ya Jokowi. Wes nggak (sudah tidak) terpengaruh, walaupun diomongi apa yo wes nggak (dikasih omongan apa ya, tidak) pengaruh.
Biasanya mereka itu lihatnya gak muluk-muluk ngomong, pokoknya kan fakta kerjanya. Pokoknya emoh (tidak mau) kalau kebanyakan ngomong. Bicara sedikit, bukti kerjanya nyata. Elit politik kalau banyak ngomong kan nggedabrus mbak. Kalau gitu kan wegah nanggapi (malas menanggapi). Itu ya semuanya apa kata nanti, pilihannya ya tergantung hati nurani masing-masing.
|
TRANSKRIP WAWANCARA III
Pertanyaan
|
Jawaban
|
Dymi Marsa, Univ Brawijaya
M. Rizky A., Univ Brawijaya
|
Sumariati, Ibu Rumah Tangga
|
Menanggapi tentang Pemilu seperti apa ?
|
Sebagai warga diwajibkan untuk memilih maka saya memilih, entah ketuanya yang jadi siapa.
|
Kalua tentang warga disini atau rw disini, bagaimana tanggapannya tentang pemilu ?
|
Tidak suruhan untuk ikut ini itu, antusias warga sendiri yang ingin memilih sesuai dengan hati sendiri
|
Tau tidak tentang Sosialisasi yang dilakukan oleh KPU ?
|
Sepertinya tidak ada, cuman ada pendataan untuk calon pemilih.
|
Apa ibu berharap untuk diadakan Sosialisasi dari KPU ?
|
Ingin di beri pengarahan, cuman belum ada penyuluhan dari KPU.
|
Tanggapan ibu tentang PILPRES 2019 ?
|
Pokoknya ikut memilih, mana yang baik diikuti mana yang jelek dihindari. Semuanya pilihan sendiri tanpa pengaruh.
|
Menurut informasi yang kami kumpulkan, bagaimana tanggapan ibu tentang ungkapan Prabowo 2030 Indonesia bubar?
|
Sebenarnya tidak boleh bilang seperti itu, sepertinya tau nanti apa yang terjadi. Kalua saya tidak, karena saya punya allah, seperti tidak ada allah aja karena bagaimana nantinya allah yang mengatur.
|
Kalau ibu mendapat informasi tentang calon PILPRES sendiri dari mana?
|
Dari TV dan hanya tau bahwa KPU yang menentukan siapa yang bisa maju menjadi Calon PILPRES.
|
Tanggapan Ibu tentang Jokowi selama menjadi Presiden ?
|
Kalau masalah harga padi itu mengikuti harga normal sebagai petani ya ikut baik sedikit, kalau kepegawaian itu ada kenaikan gaji, tapi semenjak jokowi tidak ada. Dan pengajuan tentang pensiunan yang dahulu setiap januari mendapatkan uang sebesar Rp. 60.000,- bagi ibu itu lumayan untuk uang jajan sekarang tidak ada. Untuk 13 pensiunan masih ada, gaji 14 tidak ada kalua ada hanya yang aktif.
Dari harga bensin jika ada kenaikan akan digemborkan melalui media TV, tetapi sekarang naik 100 atau 200 tidak ada pemberitaan di TV.
|
Tentang Mars Perindo di TV RCTI ? apa itu kampanye atau tidak ?
|
Sepertinya kampanye untuk menonjolkan diri seperti ingin sekali naik.
|
Harapan ibu untuk PILPRES 2019 ?
|
Siapa yang jadi semoga kedepannya baik, tidak berpengaruh siapa yang jadi. Dampaknya tidak ada yang ibu rasakan. Karena harga sembako masih stabil gimana kita yang mengelolanya.
|
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2013) KPU Umumkan Parpol Pemilu 2014. http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/01/130108_parpol_pemilu2014. Diakses pada 25 April 2018
Anonim. (2012). Inilah Aturan Kampanye Pemilu 2014. https://news.detik.com/berita/1859775/inilah-aturan-kampanye-pemilu-2014. Diakses pada 25 April 2018
Auliani.(2014). Lebih dari 14 Juta Suara Pemilu Legislatif Rusak. https://nasional.kompas.com/read/2014/05/10/0852321/Lebih.dari.14.Juta.Suara.Pemilu. Legislatif.2014.Rusak. Diakses pada 24 April 2018
Suryana, Nana. (2013). Iklan Politik, Popularitas, dan Elektabilitas Calon Presiden dan Wakil Presiden 2014. BPPKI BANDUNG 11 (2) 161-172