Analisa Pendekatan Pragmatik dan Humanistik dalam Memandang Komunikasi Antar Pribadi

by - 5:19 PM


Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Berkelompok
Mata Kuliah Komunikasi Antar Pribadi
Dosen Pengampu : Wifka Rahma Syauki, M.Si



Disusun oleh :
Dymi Marsa Levina Cahyarani 165120200111024
Rifqy Nukman Maajid 165120200111057
Jurusan Ilmu komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
2018


Pengalaman komunikasi antar pribadi yang kami pilih adalah ketika memasuki kelas Komunikasi Antar Pribadi dan kemudian diampu oleh Ibu Wifka. Tugas dasar dari kelas ini adalah memilih partner yang dianggap belum terlalu dekat untuk kemudian kita mendekati partner tersebut dengan ilmu-ilmu yang nantinya disampaikan dalam kelas ini. Hasil akhir dari kelas ini adalah kedekatan antar pribadi sebagai bentuk penerapan ilmu Komunikasi Antar Pribadi.
Dalam pemilihan partner tentunya cukup membingungkan, terlebih pada saat itu satu baris kursi berjumlah lima kursi yang berarti terdapat dua pasangan saja dan tersisa satu. Dymi dan Nukman adalah salah satu “sisa” daripada pasangan di tiap barisnya, sehingga Dymi menyarankan kepada Nukman untuk menjadi partnernya dengan alasan satu nasib. Tentu saja keputusan ini tidak langsung disetujui, masih terjadi beberapa keraguan dalam menentukan pilihan sebagai partner seperti partner kerja di LKM namun dapat dikatakan hubungan kami belum cukup dekat. Dymi masih memberikan isyarat agar Nukman menjadi partnernya. Baik dari raut wajah, gestur tubuh, dan komunikasi verba menjadi alat persuasi Dymi untuk mencari partner.
Pada akhirnya Nukman memutuskan untuk mencari partner lain begitu juga Dymi. Sehingga, kami masing-masing sudah memiliki partner selama satu semester kedepan. Hingga minggu ketiga tiba, didapati tugas kelompok bersama partnernya. Rupanya telah terjadi salah paham yaitu partner Nukman yang ternyata sudah dianggap menjadi partner mahasiswa lainnya. Maka, dibuatlah multichat pada aplikasi LINE. Di dalam multichat tersebut, salah satu orang menegaskan bahwa bagaimana pemilihan partner seharusnya sesuai dengan awal kelas ini dimulai dan tidak melakukan perubahan karena nantinya akan merepotkan teman lainnya. Dalam situasi ini, Nukman memberikan respon yang dianggap tidak setuju atas statement tersebut. Berbeda dengan Dymi yang menerimanya dengan terbuka sesuai keputusan bersama. Sehingga pada akhirnya, keputusan bulat dicapai dengan masing-masing individu kembali pada partner sesuai dengan kelas Komunikasi Antar Pribadi dimulai.





KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI
  Sesuai dengan catatan perkuliahan yang disampaikan oleh Ibu Wifka, bahwa komunikasi antar pribadi dilakukan dengan face-to-face atau saling bertatap muka. Namun, seiring berkembangnya jaman adapula istilah CMC atau Computer Mediated Communication yakni komunikasi antar pribadi melalui media. Komunikasi ini dilakukan oleh minimal dua orang atau bahkan lebih dan memiliki feedback antara komunikan dan komunikatornya. Dalam pengalaman diatas, Dymi dan Nukman telah melakukan komunikasi antar pribadi, yakni disaat Dymi memberikan pesan verbal dan nonverbal sebagai bentuk persuasi Nukman sebagai partnernya. Saat memberikan pesan atau informasi, Dymi juga menerima feedback dari Nukman berupa raut wajah dan gesture tubuh dalam hal ini disebut sebagai komunikasi nonverbal.
CMC juga terjadi pada Dymi dan Nukman namun juga melibatkan beberapa mahasiswa yang tergabung dalam multichat aplikasi LINE. Terdapat feedback yang diberikan namun tidak semua feedback dapat diterima dengan baik. Hal ini terjadi karena adanya medium sehingga feedback yang diterima tertunda atau tidak dapat diterima langsung. Misalkan saja, chat yang dikirim oleh Nukman bersifat konstruktif, dimana tiap orang dapat memaknai berbeda, hal ini terjadi karena penyampaian feedback tidak diiringi dengan pesan nonverbal yang memperkuat pesan verbanya seperti emosi, nada bicara, dan ekspresi. Sehingga, anggota multichat tidak mengetahui apakah respon yang Nukman berikan adalah kesedihan, marah, atau bingung.

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI
Tiap individu tentu memiliki karakteristik berbeda-beda, sehingga satu sama lain akan memiliki berbagai faktor untuk dapat memahami pesan yang diterima. Maka harus ada perbaikan dalam komunikasi sehingga mencapai komunikasi yang efektif. Berikut adalah dua perspektif dalam efektivitas komunikasi antar pribadi:
A. HUMANISTIK
Adalah pendekatan yang dimulai dengan kualitas umum yang menuntut para filsuf dan humanis menentukan hubungan antarmanusia yang superior (Kurniawati, 2014). Disebutkan pula bahwa humanistik adalah salah satu pendekatan sebagai bentuk kritik dan perbaikan terhadap pendekatan behavioral yang menekankan bahwa manusia adalah mesin. Sehingga humanistik memiliki perbedaan karakter yang cukup kuat dengan behavorial, yaitu menanggap manusia sebagai kesatuan yang utuh (Sanusi, 2013, h. 126).  Humanistik sangat manusiawi karena menanggap manusia yang melibatkan perasaan dan emosi.

Pendekatan ini meliputi:
1. Openness (Keterbukaan)
Keterbukaan yang dimaksud disini adalah bagaimana seorang individu mampu terbuka dalam memberikan informasi dan memberikan respon. DeVito dalam The Interpersonal Communication Book, 2013 menyebutkan bahwa “opennes also includes a willingness to listen openly and react honestly to the messages of others”. Dalam pengalaman komunikasi antar pribadi yang dijelaskan pada awal paper ini, keterbukaan terjadi di awal keduanya memutuskan untuk menjadi partner. Dymi memberikan stimulus berupa isyarat/gesture dan juga pesan verbal (sebagai keterbukaan interaksi pemberian informasi) dan Nukman membalas dengan ekspresi wajah yang disebut dengan pesan nonverbal sebagai bentuk keterbukaan memberi respon. Selain itu, keterbukaan juga dapat dilihat pada saat penegasan partner dalam multichat. Sikap Dymi dan Nukman adalah sama-sama terbuka, dimana satu sama lain bersedia memberi respon dan bersedia memberikan informasi tentang your own feelings. I-messages make explicit the fact that your feelings result from the interaction between what is going on outside you skin and what is going on inside your skin (preconceptions)” (DeVito, 2013). Dalam studi kasus ini, kedua nya mampu menerima informasi berupa chat.  Keterbukaan Dymi dan Nukman menjadi salah satu respon yang positif yaitu keduanya sama-sama mau mendengarkan dan menerima informasi dari orang lain (atau bahkan satu sama lain). Keduanya juga mampu memberikan respon sehingga ikut terlibat di dalam interaksinya. Ketakutan yang mungkin terjadi jika salah satu unsur ini tidak diperhatikan dalam praktik komunikasi antar pribadi adalah tidak tersampaikannya informasi secara jelas, bahkan akan terjadi komunikasi satu arah karena salah satu unsur tidak memiliki unsur keterbukaan (sehingga tidak mampu memberikan respon terhadap stimulusnya).
2. Emphaty (Empati)
Adalah melibatkan perasaan kita terhadap apa yang dirasakan lawan bicara tanpa menghilangkan identitas siapa kita sebenarnya. Dalam hal ini, empati bukanlah sebuah emosi yang terlalu mendalam, dimana kita sebagai individu yang berinteraksi dengan lawan bicara mencoba untuk merasakan menurut sudut pandang lawan bicara. Tidak perlu berpikir seolah menjadi ‘orang lain’ atau lawan bicara tersebut untuk kemudian memahami dan memaknai situasi yang ada. Dalam pengalaman komunikasi antar pribadi di atas, empati terjadi pada Dymi namun belum berupa bentuk feeling emphaty. Disebutkan dalam DeVito, 2013 bahwa empati pada dasarnya terbagi menjadi dua bagian: thinking emphaty dan feeling emphaty. Pada momentum Nukman yang menyampaian kekesalannya karena perubahan kembali partner masing-masing seperti rencana awal, Dymi tidak dapat memberikan respon apapun dalam CMC. Empati yang disampaikannya hanya sebatas thinking, yaitu dirinya juga ikut merasakan kesal sebagaimana Nukman merasakan namun Dymi tidak menunjukkan dan tidak menyampaikannya. Empati juga memiliki batas, yaitu kita hanya perlu memahami bagaimana lawan bicara kita, tidak perlu melakukan evaluasi, menghakimi terlebih mengkritisi, karena hal tersebut tidak sesuai dengan emosi yang kondisional.
3. Supportiveness (Perilaku Suportif)
Perilaku ini ditunjukkan bukan dengan cara mengevaluasi lawan bicara, perilaku ini ditujukan untuk menyatakan persamaan emosi dan mendukung (bahkan menanyakan lebih banyak informasi sebagai bentuk ketertarikan terhadap topik) untuk mendukung emosi lawan bicara. Perilaku suportif biasanya dilakukan apabila lawan bicara sedang berada pada posisi tidak stabil (emosi yang naik turun), sehingga perlu adanya perlibatan perasaan kita. Sikap ini juga ditunjukkan oleh lawan bicara dengan kerelaannya untuk mendengarkan dan menerima saran dari kita. Dalam studi kasus diatas, penulis belum dapat menemukan letak perilaku suportif antara Dymi dan Nukman. Ketika keduanya terlibat dalam suatu emosi (yang dapat dibilang naik), keduanya juga belum mampu memberikan pendapatnya untuk sekadar memberi saran atau bahkan meminta saran dan mendengarkannya. Hal ini sangat memungkinkan terjadi ketika kedua individu belum cukup lama mengenal satu sama lain sehingga belum ada keterlibatan emosi di dalamnya. Hal ini juga dibuktikan dalam penelitian pada MTs Negeri Model Cigugur Kuningan oleh Uci Sanusi yang menganalisa pendekatan humanistik dalam pembelajaran, yaitu kedekatan siswa dan gurunya tidak dapat begitu saja muncul namun perlu dilakukan langkah demi langkah sehingga terbentuk keharmonisan diantara keduanya. Langkah tersebut berupa pendekatan secara formil seperti di dalam kelas dan pendekatan yang lebih privasi seperti home visitting maupun konsultasi guru BK.
Namun perlu diperhatikan dalam menunjukkan perilaku suportif, agaknya lebih condong dalam memberi saran. Pemberian saran juga tidak boleh terlalu berlebihan seperti adanya judgment atau merendahkan lawan bicara, memberi saran seolah seperti kotbah, memberi saran yang menyinggung. Hal ini dapat merusak hubungan antar individu dan menimbulkan power relation yaitu salah satu mendominasi lainnya.
4. Equality (Kesamaan)
Adalah sebuah perilaku yang menanggap seseorang sebagai sesuatu yang penting dan menjadi kontribusi vital (penting)di dalam berinteraksi (DeVito, 2013). Biasanya hal ini dilakukan karena dalam status sosial terjadi kesenjangan seperti bos dengan karyawannya, posisi ketua dengan anggota organisasinya, bagaimana seseorang lebih unggul dan cerdas di dalam kelasnya, dan banyak lainnya. Perilaku ini menjadi salah satu unsur yang membangun efektivitas komunikasi antar pribadi karena tidak adanya status sosial sebagai jurang pemisah. Kondisi emosional antar pribadi dianggap sama tanpa harus melihat siapa dan apa jabatannya. Dalam studi kasus diatas, Dymi dan Nukman telah menunjukkan sikap equality nya dalam sebuah multichat. Kesenjangan yang terjadi adalah Dymi dan Nukman telah mendapatkan partner sedangkan mahasiswa lainnya belum bisa menemukan pengganti partner. Sebuah keunggulan tersendiri Dymi dan Nukman tidak membuat keduanya merasa lebih tinggi (superior) dibandingkan mahasiswa lainnya. Sikap equality mereka tunjukkan dengan memahami seksama pendapat mahasiswa lain, tidak langsung menyalahkan atau menolak, dan tidak berusaha menggurui. DeVito, 2013 menyebutkan dalam equality: “Avoid “should” and “ought” statements ….. That statements put the lsitener in a one-down position”. Sehigga kesamaan perlu dipraktikan untuk mengurangi dominasi salah satu individu dan lebih membuka kesempatan untuk mendapatkan respon karena tidak ada status sosial yang membatasi.


5. Positiveness (Perilaku Positif)
Berarti memandang segala sesuatu yakni pribadi dan orang lain sebagai sesuatu yang positif. Dalam berkomunikasi, tidak baik untuk selalu membicarakan hal yang berbau negatif. Tentu hal ini dapat membuahkan salah paham satu sama lain. Dalam studi kasus diatas, perilaku positif telah ditunjukkan keduanya yaitu Dymi dan Nukman. Pandangan positif mereka terhadap perubahan partner kembali sebagai bentuk dari keterbukaan adalah salah satu contoh perilaku positif.


DAFTAR PUSTAKA

DeVito, Joseph A. (2013). The Interpersonal Communication Book (13th Ed). New York: Pearson Education, Inc.
Kurniawati, N. (2014). Komunikasi Antarpribadi; Konsep dan Teori Dasar. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sanusi, U. (2013). Penelitian pada MTs negeri Model Cigugur Kuningan. Pembelajaran dengan Pendekatan Humanistik. 11 (2), 123 - 143.
Saefuddin. (2013). Pendekatan Pragmatik dalam Mendukung Komunikasi Lisan. 19 (1), 1-12.
Zein, S. (2012). Komunikasi Antar Budaya: Sebuah Alternatif dalam Pemecahan Masalah pada Interaksi Sosial . Exposure - Journal of Advanced Communication. 2 (1), 341 - 363.

You May Also Like

0 pendapat