Kehadiran Iphone X bagi Masyarakat Indonesia [Kritis: Postmodernisme Lyotard]
Fenomena yang baru-baru ini terjadi dalam dunia gadget adalah rilisnya smartphone kebanggaan brand Apple yakni Iphone X. Rilisnya produk terbaru bawaan Apple ini menjadi incaran banyak pelanggan setianya, bahkan demi mendapatkan produk tersebut banyak yang rela mengantri berjam-jam di toko resminya. Menjadi sebuah tradisi hampir di setiap negara akan kondisi “gila” ini. Dimana produk terbaru Apple akan selalu dinantikan oleh pelanggan setianya.
Iphone sendiri telah diminati banyak orang sejak kemunculan pertamanya. Iphone X adalah salah satu dari sekian banyak variasi produk Iphone yang telah dirilis. Walaupun belum dijual secara resmi di official store nya yang berada di Jakarta, warga Indonesia tidak diam begitu saja menunggu kehadiran smartphone canggih ini. Disebutkan dalam portal berita Malang Post misalnya, pasangan suami istri yang tengah mengandung enam bulan bahkan mengantri demi mendapatkan smartphone tersebut. Tak hanya mereka, masih banyak lagi orang-orang Indonesia yang rela terbang ke Apple Store Singapura untuk mengantri dan membeli produk ini. Dapat disimpulkan bahwa, segmenting geografis peluncuran produk Iphone X bukanlah sebuah hambatan bagi warga negara Indonesia, sekalipun mereka harus dikenai pajak bea cukai nantinya di bandara. Meskipun tidak mencapai 50% warga Indonesia yang antusias terhadap kehadiran produk ini, boleh dikatakan bahwa Iphone telah mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Pengorbanan demi memiliki produk tersebut menandakan betapa tergila-gilanya mereka terhadap produk Apple tersebut.
Iphone X sendiri adalah produk yang diciptakan dalam rangka merayakan sepuluh tahun sejak diproduksinya Iphone generasi awal. Apple melakukan branding terhadap produk ini sebagai smartphone yang canggih. Misalnya saja dengan mengagungkan fitur Face IDnya atau desain fisik yang lebih dinamis dengan layar yang cukup besar. Sebenarnya, jika ditelaah lebih jauh, secanggih apapun smartphone kita fungsinya adalah tetap sama, mendekatkan yang jauh -atau bahkan menjauhkan yang dekat? Kehadiran teknologi telah membuat kondisi sosial berubah, seolah berdifusi dengan baik. Saya katakan seolah karena sebenarnya tidak demikian keadaan yang terjadi. Teknologi adalah benda mati yang bahkan kehadirannya mampu menghidupkan keadaan atau sebaliknya. Mematikan keadaan dalam arti bagaimana generasi zombie kini mulai tercipta. Namun, bukan hal itu yang saya permasalahkan, sebenarnya ada sesuatu yang perlu dilihat melalui kehadiran Iphone X ini, bukan karena ontologi produk itu kemudian, melainkan perspektif masyarakat dalam mengambil keputusan dan menjadikannya mindset di benak mereka terhadap produk terkait.
Bagaimana sikap masyarakat Indonesia terhadap kehadiran produk Apple yang nyatanya mampu membawa perubahan dan manfaat positif bagi penggunanya. Kecepatan akses, tampilan, desain produk yang elegan, dan mudah dipahami adalah alasan-alasan konsumen lebih memilih Iphone di bandingkan produk lainnya (Aprillia, 2016). Sekalipun jika melakukan komparatif dengan produk lainnya, produk satu ini bisa dibilang cukup percaya diri dengan harga yang tinggi. Harga tinggi bukan menjadi masalah bagi calon konsumen, namun pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa hanya mereka yang memilki daya beli tinggi-lah yang menjadi konsumen terhadap produk ini. Maka, apa salahnya jika saya beropini bahwa produk ini secara tidak langsung telah menyebabkan kesenjangan? Jika McLuhan mengatakan media is the message, maka Iphone X boleh dikatakan sebagai media yang menyiratkan pesan di dalamnya. “Begitu juga tempat hidup manusia, apalagi perubahan itu sendiri. Medium itulah yang menjadi penentu perubahan. Perubahan tidak terjadi tanpa medium.” (Suwakul, 2012). Sebagai media, tentu Iphone X akan memiliki peran sebagaimana pendahulu-pendahulunya, bukan sekadar kemudahan berkomunikasi saja, tentu ada sisi lain dimana Iphone X telah dimaknai oleh konsumennya atau bahkan bukan konsumennya akibat nilai yang dibawa oleh media itu sendiri. Pada akhirnya, Apple hanya memiliki konsumen yang posisinya dalam sistem piramida berada paling atas. Kesenjangan ini akan menimbulkan stratifikasi sosial, seperti kelas yang mampu membeli dan tidak mampu membeli.Penggunaan frasa “kelas” lebih seimbang dibandingkan penggunaan kata “kelompok”. Frasa ini dirasa menimbulkan kesenjangan dan adanya tingkatan antara status satu dengan status lain, karena memang hal ini lah yang telah terjadi, dimana kaum borjuis -dalam era modern istilah ini lebih tepat digunakan untuk individu perpendapatan tinggi, merupakan kelas sebagai konsumen Apple. Dalam jurnal oleh Aprillia, 2016 menyatakan 56,6% responden dalam komunitas tidak setuju atas alasan mereka dalam memilih produk Apple karena produk ini memiliki banyak pengagum, lalu bagaimana dengan 34,4% sisanya? Bisa saja mereka adalah golongan yang mengejar popularitas dalam meningkatkan status sosialnya. Pada dasarnya, kelas sosial yang diklasifikasikan oleh Karl Marx semakin tinggi status sosial orang, kuantitas nya semakin kecil -berada di puncak. Boleh dikatakan bahwa 34,4% nya adalah mereka yang berstatus upper-upper class atau lower-upper class dengan kemampuan daya beli tinggi.
Berbicara tentang perilaku sebagian masyarakat terhadap produk Apple maka kita akan berbicara tentang budaya konsumen. Istilah ini digunakan pada masa kapitalisme pada saat memasalkan produksi yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat. Motif budaya konsumen bertujuan bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup semata. “... melainkan ada aspek emosi dan larutnya individu dalam budaya massa yang dipicu oleh iklan dan rayuan untuk membeli komoditas yang dilakukan secara masif” (Hasan, 2011, h 202). Maka, jika seorang konsumen membeli Iphone X dengan kondisi dimana sebenarnya dia sudah memiliki smartphone yang masih layak pakai, apakah kegunaan Iphone X kembali menjadi teknologi yang membantu penggunanya? Atau sebenarnya barang ini perlu dimaknai secara plural seperti, meningkatkan status sosial mereka dan menunjukkan posisi kelas mereka? Sebagaimana pemikiran Lyotard dalam Suwakul, 2012, h 45 bahwa “Masyarakat di era komputer menimbulkan pergesaran paradigma dari kerangka berdasarkan pengukuran intelektual (berpengetahuan dan kebodohan) ke kerangka berdasarkan pengukuran ekonomis (pemahaman bentuk pengetahuan yang dapat dijual, dibayar, diinvertasi, dan dapat melanggengkan kerja).” Sebut saja, pada era kini kita telah menggunakan tolak ukur ekonomis sebagai pedoman dalam gaya hidup. Sehingga pada dasarnya teknologi bukan lagi pengukur bangsa yang berintelek dan memiliki pengetahuan tinggi, pergeseran paradigma ini mengakibatkan teknologi menjadi pengukur bangsa yang mapan. Saya menyimpulkan bahwa Iphone X sebagai kehadiran teknologi canggih perlu adanya dimaknai sebagai sebuah bahasa yang bersifat plural dan tidak dapat mutlak dimaknai sebagaimana adanya, mengutip pemikiran Baudrillard dalam Suwakul, 2012 bahwa “komoditas itu diberi nilai melalui prestise dan status sosial serta kekuasaan sosial. (Best dan Kellner, 1911:114)”
Berbicara mengenai masyarakat era komputer maka akan merujuk pada tulisan karya Lyotard yang meletakkan perhatian khususnya terhadap transformasi akhir abad ke-19 sejak terjadinya perubahan “aturan permainan” dalam ilmu pengetahuan (Lyotard, 1986:xxiii dalam Suwakul, 2012, h 43). Aturan permainan yang dioperasionalkan dalam ilmu pengetahuan, kesustraan, dan kesenian disebutkan Lyotard sebagai budaya postmodern. “Postmodernisme didasari oleh gagasan di mana realitas sosial tetap dihasilkan, dihasilkan kembali dan diubah dengan kegunaan bahasa dan bentuk simbol lainnya” (Littlejohn, 2011). Bahasa ini menurut Littlejohn bisa direkayasa dan berbentuk berupa media karena media dianggap sebagai alat yang cukup kuat dalam mendominasi ideologi. Maka saya mengatakan bahwa Iphone X adalah sebuah bahasa yang perlu dimaknai plural dimana sebuah media ini sebenarnya tidak bisa lagi dipandang sebagai suatu hal yang subjektif. Bagaimana jika sebenarnya para founder Apple tidak hanya bermaksud memberikan pengetahuan mereka sebagai bahan bakar terhadap kemajuan teknologi? Melainkan hal lainnya, seperti berusaha menguasai posisi sebagai produsen smartphone tunggal di dunia? Agak berlebihan rupanya, namun pada masa sekarang hal tersebut bisa saja terjadi. Mengutip Lyotard dari Suwakul bahwa “pengetahuan merupakan suatu ungkapan transparansi dan liberalisme” (2012, h 45). Lalu apa yang terjadi jika hal tersebut benar adanya? Klasifikasi kelas dalam stratifikasi sosial atau kelas sosial yang dirumuskan Marx pada masa Revolusi Industri akan terjadi kembali namun dalam versi yang lebih halus, adanya kelas borjuis sang pemilik saham dan kelas proletar. Bisa saja proletar bukan sekadar kaum buruh pada industri tersebut, melainkan mereka yang terjajah oleh ideologi-idelogi yang tersampaikan dalam iklan maupun rayuan sebagaimana disebutkan di awal. Atau akan muncul Marixsme muda milenial lainnya yang akan memberikan “status sosial pada kelas” yang lebih baik dibandingkan masuk dalam jajaran proletar. Maka ‘peraturan dalam permainan’ atau Lyotard biasa menyebut “rule of the game” sebenarnya telah dimulai di Indonesia sejak tahun 2007 silam, dimana produk Iphone pertamanya mulai dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Iphone adalah teknologi atau bahasa?
Telah disebutkan pada paragraf sebelumnya bahwa perlu adanya kita memaknai suatu produk dibawah payung paradigma kritis. Kesenangan semata ketika hadirnya Iphone X merupakan realita semu yang masih kurang kita pandang secara luas. Bagaimana kahpemaknaan Iphone X sebagai sebuah teknologi? Nyatanya pada jaman Revolusi Industri, teknologi dimaknai sebagai alat bantu dimana dalam hal produksi ia tak lagi membuthkan manusia. “Teknologi menentukan perubahan dan perubahan itu sendiri memberi dampak pada kehidupan manusia” (Toffler, 1981 dalam Suwakul, 2012). Perlu digaris bawahi terkait perubahan dalam kutipan tersebut. Perubahan yang terjadi pada masa tersebut, sebut saja dalam periode modernitas adalah sebuah perubahan menguntungkan -atau bahkan merugikan kaum pekerja, yang menjadi batu loncatan terhadap keberadaan teknologi di masa sekarang. Namun, frasa ‘perubahan’ telah berganti maknanya dalam suatu periode yang dianggap postmodernitas, menjadi suatu yang tidak konstan dan semakin gencar melanda kehidupan. Teknologi bukan lagi merupakan teknologi sebagaimana biasanya kita memaknai benda tersebut. Peran dari teknologi kini telah mengubah masyarakat secara mendasar. “Fakta mengejutkan postmodernisme adalah penerimaanya secara menyeluruh atas kesementaraan, fragmentasi, [dan] diskontinuitas” (Harvey, 1989:44 dalam Suwakul, 2012, h 17). Maka, sebut saja bahwa postmodernitas adalah sebuah perubahan dimana teknologi menjadi sebuah dominasi kultural yang berasal dari era pasca Perang Dunia ke-2.
Saya mencoba untuk mengartikan kehadiran Iphone X sebagai sesuatu yang lebih luas, bahasa misalnya, “Bahasa bukan kehadiran metafisis melainkan suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk mengoordinasikan tindakan mereka dalam konteks hubungan sosial” (Barker, 2004). Maka Iphone X tentu bisa menjadi sebuah alat untuk melakukan tujuan founder nya dalam sebuah hubungan sosial, entah hubungan yang bersifat diferensiasi ataupun stratifikasi. Anggap saja Iphone X hadir sebagai sebuah permainan bahasa -sebagaimana dituturkan oleh Wittgenstein, di masa sekarang, tidak dibutuhkan narasi-narasi seperti adanya di abad 19. Peraturan ini dapat dimaknai sebagai “usaha membangun pemahaman pragmatis kita tentang ‘bagaimana hidup’ dalam masyarakat” (Barker, 2004). Iphone X atau dengan para pendahulunya telah mengajarkan ‘bagaimana hidup’ bersamanya atau tanpanya. Bagi sebagian orang ‘bagaimana hidup’ bersamanya dimaknai dengan mereka yang tercukupi sebenarnya dalam seluruh kebutuhannya bahkan melebih-lebihkan dalam aspek tersier nya. Hal ini diungkapkan oleh Baudrillard tentang pemikirannya mengenai teori tanda dengan mengulas masyarakat konsumer “Kecenderungan masyarakat konsumeristik diidentifikasi dalam arsitektur, seni populer, lukisan kontemporer, dan terlebih lagi dalam media dan informasi” (Suwakul, 2012). Dapat dimaknai dengan perubahan sikap masyarakat menjadi konsumtif dengan media Iphone X yang dimilikinya, media ini merupakan sebuah tanda yang dapat dimaknai dari segi berbeda, dalam bidang sosial maupun ekonomis misalnya.
Kesimpulan
Berdasarkan fenomena diiringi dengan argumentasi saya diatas, dapat disimpulkan bahwa bagaimana memaknai sebuah produk Iphone X dalam sudut pandang yang lebih luas. Dalam pemikiran Lyotard, sebuah teknologi tidak dapat dimaknai begitu saja sebagaimana tertuang dalam strukturalisme. Teknologi media memiliki ‘makna’ nya sendiri bahkan telah mengalami dekonstruksi dalam perkembangannya. Teknologi media dapat menjadi pemicu terhadap terjadinya pembagian kelas maupun power relation yang nantinya akan tercipta berdasarkan stratifikasi sosial yang pernah terjadi saat Revolusi Industri, atau sebagaimana Marx telah menegaskan kelas sosial dalam tulisan-tulisannya. “Analisa Lyotard tentang pemikiran postmodern, tidak dapat disangkal bahwa pemikirannya itu … sudah menjadi kenyataan empiris di seluruh dunia…” (Suwakul, 2012)
DAFTAR PUSTAKA
l Suwakul. (2012). Postmodernitas: Memaknai Masyarakat Plural Abad Ke-21. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia
l Lash, S. (1990). The Sociology of Postmodernism. (Admiranto, A. Terjemahan). Yogyakarta: Kanisius
l Sarup, M. (1993). An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism. (Hidayat, M. Terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra
l Barker, C. (2000). Cultural Studies, Theory, and Practice. (Nurhadi, Terjemahan). Bantul: Kreasi Wacana
l Littlejohn, S dan Foss, K. (2009). Theories of Human Communication (9th ed). (Hamdan, M. Terjemahan). Jakarta: Salemba Humanika
l Santana, S. (2014). Komunikasi Naratif: Paradigma, analisis, dan aplikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakaya
l Hasan, S. (2011). Pengantar Cultural Studies: Sejarah, Pendekatan Konseptual, & Isu Menuju Studi Budaya Kapitalisme Lanjut. Jogjakarta:Ar Ruzz Media
l Aprillia, T. (2016). Pengaruh Brand Image Produk Apple Terhadap Keputusan Pembelian konsumen pada Komunitas Instamarinda. 4(3). 421-431
l Noor, A. (2017). Mengukur Popularitas Iphone X di Indonesia. Diakses 19 Desember 2017, pada https://inet.detik.com/consumer/d-3684173/mengukur-popularitas-iphone-x-di-indonesia
l (2017). Phone X Bius Konsumen. Diakses pada 19 Desember 2017, pada https://mail.malang-post.com/ekonomi/technocell/phone-x-bius-konsumen
0 pendapat