Analisa Studi Kasus Bank Century dalam Perspektif PR

by - 7:08 PM



Analisa Studi Kasus Bank Century dalam Perspektif PR
NIM : 165120200111024
Kode Mata Kuliah/Kelas :            /A-KOM-5
Nama Mahasiswa : Dymi Marsa Levina Cahyarani
Nama Mata Kuliah : Manajemen Isu dan Krisis
Dosen : Rachmat Kriyantono, Ph.D
Batas pengumpulan tugas : 20 September 2018
Judul Tugas :  
Analisa Studi Kasus Bank Century dalam Perspektif Public Relations
Perpanjangan diterima: Ya / Tidak
Persetujuan terlampir : Ya / Tidak
Dengan ini saya / kami menyatakan :
· Bahwa ini adalah karya asli saya / kamu, dan tidak ada bagian dari tugas yang dikopi dari sumber atau orang lain kecuali jika telah tecatum dalam referensi.
· Tidak ada bagian dari karya ini yang sudah pernah dikumpulkan kepada institusi ini atau institusi lainnya.
· Jika terbukti bahwa saya / kami melakukan kecurangan dan pernyataan palsu, maka saya / kami siap menerima konsekuensi yang berlaku.






Tanda tangan : Tanggal : 20 September 2018



Analisa Studi Kasus Bank Century dalam Perspektif Public Relations

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kolektif Mingguan
Mata Kuliah Manajemen Isu dan Krisis
Dosen Pengampu : Rachmat Kriyantono, Ph.D





Disusun oleh :
Dymi Marsa Levina Cahyarani
165120200111024



Jurusan Ilmu komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
2018

KRONOLOGI KASUS BANK CENTURY

Tanggal
Kronologi
Fenomena Komunikasi
6 Desember 2004
Adanya merger yang dilakukan Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC menjadi Bank Century yang disetujui oleh BI
Muncul kesepakatan dan legalitas yang diberikan oleh BI
31 Oktober 2005
Laporan hasil BI terhadap posisi CAR Century yakni berada pada posisi negatif 132,5 persen seharusnya menetapkan Century dalam pengawasan khusus. Namun, BI hanya memberi kategori bank dalam pengawasan intensif
Muncul masalah tentang bank Century yang belum menimbulkan keresahan publik, sebatas diketahui dalam jajaran praktisi, dan melakukan pemecahan masalah berupa pengkategorian bank
2005 – 2007
Ditemukan pelanggaran yang dilakukan Century, namun BI tidak mengambil tindakan tegas. Seharusnya Century membayar denda sebesar Rp 22 Miliar, tapi BI memberi keringanan Rp 11 Miliar
Bentuk perilaku BI terhadap Century sehingga memberikan keringanan tentu memiliki alas an tertentu
5 November 2008
Bank Century ditetapkan sebagai kategori bank dalam pengawasan khusus oleh BI
Adanya tahapan dalam melakukan pemecahan masalah yang sesuai dengan standar aturan.
13 November 2008
Bank Century mengalami masalah likuiditas, yang pada akhirnya menyebabkan kepercayaan dari masyarakat yang mencekam dan muncul isu-isu yang mengganggu stabilitas sektor perbankan. Pada lima hari berikutnya, terjadi penarikan dana oleh masyarakat secara cepat.
Sikap publik (utamanya masyarakat sebagai stakeholders perusahaan)terhadap suatu organisasi tercerminkan secara aktif akibat terpaan isu-isu terhadap situasi perbankan.
21 November 2008
Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal berdampak sistemik dan diambil alih oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan)
Adanya krisis yang muncul di dalam perusahaan dan keterlibatan pemerintah dalam mengendalikan situasi/krisis
2008 – 2009
Bank Century menerima kucuran dana pinjaman jangka pendek (FPJP) sebesar Rp 689 miliar dan dana penyertaan modal sebesar Rp 6,782 Triliun
Adanya pemecahan masalah dalam menghadapi krisis perusahaan yakni dana pinjaman. Selain itu, Bank Century juga mendapatkan kepercayaan dari BI untuk melakukan kewajiban likuiditasnya sendiri
Februari 2013
Budi Mulya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan melawan hukum dan penyalah gunaan wewenang terkait FPJP Bank Century (FPJP sebesar 7 miliar merugikan negara)
Krisis yang terjadi pada Bank Century semakin parah, hal ini juga menyangkut Gubernur Bank Century sebagai simbol pimpinan perusahaan yang justru mendapatkan pencitraan negative
6 Maret 2014
Budi Mulya saat disidang KPK menyebutkan beberapa nama yang menurutnya ikut terlibat dalam penyalahgunaan wewenang FPJP Bank Century diantaranya Boediono, Miranda, Mantan Pemilik Bank Century Robert Tantular, dll
Adanya perlibatan publik internal dalam krisis ini menandakan bahwa perusahaan tidak dalam kondisi sehat, baik ke ranah eksternal maupun ranah internal.
Juli – Desember 2014
Vonis hukuman pada Budi Mulya sebesar 12 tahun akibat kejahatannya melanggar peraturan hokum
Simbol pemimpin disini mengalami kesenjangan persepsi saat Budi Mulya dijatuhi hukuman
Juni 2015
Tidak ada kelanjutan dari kasus Bank Century dengan KPK, muncul isu terkait kasus ini yang diberitakan oleh beberapa media
Isu muncul setengah tahun setelah pemberitaan Bank Century terakhir pada bulan Desember 2014. Kemunculan ini diawali dengan adanya pemberitaan media online.
Desember 2015
Dilantiknya pemimpin KPK yang baru yakni Saut, dalam media merdeka.com, di dalamnya membahas kembali keterkaitan KPK dengan kasus Century yang tak kunjung usai
Isu muncul yang kemudian mengkaitkan situasi persaingan masa pemerintahan Jokowi dengan menyinggung persaingan masa pemerintahan SBY
April 2018
Munculnya berita pada media kredibel Jepang yakni Asia Sentinel yang kembali mengungkap kasus Century dengan melibatkan pemerintahan SBY pada headlines nya. Munculnya somasi partai demokrat yang menganggap adanya black campaign
Isu yang kian meredam nyaris empat tahun lamanya, muncul kembali akibat terpaan portal media yang cukup kredibel.



ANALISA TEORI
ISU dan MANAJEMEN ISU
Isu didefinisikan sebagai “berbagai perkembangan, biasanya di dalam arena public, yang jika berlanjut, dapat secara signifikan memengaruhi operasional atau kepentingan jangka panjang dari organisasi” (Harrison, 2008 dalam Kriyantono, 2015). Isu akan muncul apabila terjadi gap atau kesenjangan antara harapan dengan realita yang terjadi. Public relations dapat saja melakukan environmental scanning dengan aktivitas berupa tracking opini publik. Dalam buku Kriyantono, 2015 disebutkan formula isu adalah “isu = masalah + dampak”, yakni masalah belum tentu isu sedangkan isu sudah tentu mengandung masalah. Berikut adalah beberapa tahapan isu menurut Hainsworsth, 1990 dan Meng, 1992 dikutip di Regester & Larkin, 2008 dalam Kriyantono, 2015:
1.      Tahap Origin/ Potential Stage
-          Seseorang atau kelompok mengekspresikan perhatiannya pada isu dan memberikan opini
-          Adanya akademisi, pakar, atau LSM yang memberikan perhatian pada suatu masalah
-          Dimungkinkan adanya tindakan tertentu berkaitan dengan identifikasi isu yang dianggap penting dan berpotensi
-          Pada tahap ini, isu belum menjadi perhatian pakar dan public secara luas, meskipun ada beberapa pakar yang sudah mulai menyadarinya
2.      Imminent Stage
-          ­Isu tersebut berkembang dan mempunyai dukungan public
-          Adanya makna mediasi, yakni orang-orang atau kelompok yang mulai memiliki pandangan yang sama saling bertukar pikiran
-          Liputan media menjadi suatu faktor dominan terhadap perkembangan isu
-          Perlu adanya pengelolaan arus informasi oleh organisasi sebagai bentuk komunikasi dengan public
3.      Critical Stage
-          Public sudah mulai mengorganisasikan diri dan membentuk jaringan-jaringan
-          Isu menjadi lebih popular akibat adanya pemberitaan media secara berulang dalam jumlah yang cukup banyak
-          Adanya pihak pro kontra yang tercipta di public
-          Jika pada tahap ini isu tidak ditangani sebaik mungkin, maka akan terjadi krisis.
-          Disisi lain, pemerintah juga memiliki peran besar dalam tahap ini, yakni upaya kebijakan public seperti kemunculan regulasi baru
4.      Dormant Stage
-          Sudah ada perubahan kebijakan public dari pemerintah yang kemudian diikuti oleh organisasi
-          Seiring berjalannya waktu, isu mulai dapat diredam, organisasi telah menemukan solusinya walaupun dalam jangka waktu yang pendek atau panjang, energi besar, dan biaya yang cukup banyak
-          Perlu dilakukannya recovery citra perusahaan agar mendapat kepercayaan kembali dari public
Ketika perusahaan menghadapi isu, tentu diperlukan tindakan sistematis untuk mengantisipasi terjadinya kemungkinan buruk atau worst scenario dalam perusahaan. “Manajemen isu dilakukan untuk mengambil keputusan beupa strategi aksi yang efektif untuk menjawab masalah tersebut …” (Kriyantono, 2015). Jika pada awalnya manajemen isu dilakukan hanya sebatas pemberian informasi, modern PR menekankan adanya tindakan lain seperti penerapan strategi advokasi perusahaan sebagai bentuk manajemen isu yang baik. Tentu saja, strategi ini tidak serta merta dilakukan, perlu dilakukan beberapa langkah dalam memilih manajemen isu. Yakni (1) Identifikasi Isu, mengenal dahulu isu yang diprediksi dapat memengaruhi organisasi. Biasanya isu yang dipilih adalah isu yang memiliki potensi besar dalam memberikan dampak. (2) Melakukan Evaluasi dan Analisis Isu-isu yang Ditemukan, setelah menjalankan manajemen isu, ada baiknya melakukan analisis yang diperkuat dengan riset sehingga menentukan tingkat efektifitas dari strategi yang dilakukan. Penting rasanya seorang PR melihat apakah strategi yang dibuat merupakan sesuatu yang bermanfaat dan melibatkan public sesuai dengan target sasarannya.
ISU DAN MANAJEMEN ISU: ANALISIS STUDI KASUS
            Dalam kronologi Bank Century dengan Bank Indonesia diatas, muncul beberapa permasalahan yang menyebabkan adanya isu. Masalah yang muncul yakni pada 31 Oktober 2005 bahwa BI menetapkan Bank Century pada posisi negatif 132,5% dan menetapkan Century dalam pengawasan khusus. Sehingga, setelah muncul masalah, tentu saja akan menyinggung suatu isu. Cepat lambatnya suatu isu muncul adalah tergantung bagaimana organisasi mampu memanajemen isu tersebut dengan baik.
Isu yang terjadi dalam Bank Century adalah isu ekonomi. Hal ini terlihat dalam kronologi waktu 2005 hingga 2007 bahwa adanya pemberian keringanan Bank Indonesia kepada Bank Century terkait denda sebesar Rp 22 Miliar. Jika melihat formula dalam Kriyantono, 2015 yakni “isu = masalah + dampak”, maka dampak juga terlihat pada isu ekonomi yang muncul. Dampak tersebut yakni keringanan Bank Indonesia dalam memberi denda mencapai Rp 11 Miliar pada akhir tahun.  Menurut Hainsworsth, 1990 dan Meng, 1992 dikutip di Regester & Larkin, 2008 dalam Kriyantono 2015, isu juga memiliki tahap atau biasa disebut issue life cycle. Pada isu ekonomi terkait keringanan yang diterima oleh Bank Indonesia, isu ini menempati tahap potential stage. Sebaik-baiknya manajemen PR adalah melakukan tindakan tegas pada awal mula isu muncul. Tindakan tersebut dapat berasal dari internal maupun pihak eksternal sebagai stakeholders perusahaan. Bank Indonesia sebagai suatu kelompok, merupakan komponen penting dalam issue life cycle ini dalam mengungkapkan ekspresinya dan juga didukung dengan tindakan yang berkaitan dengan isu. Kegiatan tersebut berupa pemberian keringanan dengan harapan respons yang diberikan Bank Century sebagai perusahaan dapat melakukan perubahan kondisi. Perlu ditekankan pula, pada tahap ini isu belum berkembang secara luas, walaupun jajaran praktisi sudah menyadari hal ini. Media exposure tidak terlalu banyak dan belum berpengaruh secara luas, sehingga tindakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dianggap sebagai tindakan pencegahan terjadinya krisis.
Berjalanan pada kronologi selanjutnya yakni 5 November 2008 penetapan Bank Century sebagai bank dalam pengawasan khusus oleh Bank Indonesia. Jika dianalisa, tindakan ini dilakukan sebagai bentuk manajemen isu pada tahap berikutnya. Nampaknya, pemberian keringanan denda sebesar Rp 11 Miliar bukan menjadi problem solving yang tepat. Mengambil dari Jaques, 2007 dan Harrison, 2008 dalam Kriyantono, 2015 bahwa “A problem can be solved, but an issue has tobe resolved”, maka tentu saja akan ada tindakan evaluasi dari strategi yang diterapkan. Jika tindakan manajemen isu selanjutnya belum memberi dampak atas pemulihan organisasi terhadap isu, maka perlu dilakukan pemecahan ulang sehingga isu tidak berkembang terus menerus dan mengakibatkan krisis pada organisasi. Tahap awal pemberian keringanan denda sebesar Rp 11 Miliar (terlepas dari kebenaran nilai, tegas atau tidaknya institusi terkait) belum memberikan jawaban pasti, apakah Bank Century berhasil meredam isu ekonomi yang menimpanya. Sehingga, pengalihan status menjadi bank dalam pengawasan khusus adalah tindakan manajemen isu evaluatif.  
Issue life cycle tidak berhenti hanya pada potential stage. Mirisnya, imminent stage juga dihadapi oleh Bank Century sebagai imbas dari isu sebelumnya yang tidak terkontrol dengan cukup baik. Tepat pada tanggal 13 November 2008, Bank Century dinyatakan mengalami masalah likuiditas. Artinya, bank ini sudah tidak mampu mengerjakan fungsinya dengan baik. Dijelaskan pula, dampak dari kemampuan likuiditas Bank Cenutry ini mampu mengganggu stabilitas sektor perbankan. Adanya kepercayaan masyarakat yang mulai mencekam tanpa diikuti dengan tindakan yang mendukung. Tentu saja, pada tahap ini isu telah memiliki dukungan public berupa kepercayaan masyarakat. Hal ini bersangkutan dengan persepsi masyarakat yang menganggap  kredibelitas bank dilihat dari kemampuan likuiditas yang dilakukan. Jika bank tidak mampu melakukan fungsi dasarnya seperti likuiditas, maka uang yang berada di dalam bank tersebut dinyatakan dalam posisi tidak aman. Aman disini seperti sulitnya masyarakat melakukan kredit maupun debit terhadap rekeningnya. Makna mediasi juga terlihat, karena dampak yang diberikan Bank Century ini tidak hanya merugikan beberapa orang saja, namun public yang merupakan nasabah dari Bank Century. Nasabah merasakan adanya kesamaan nasib dan kesamaan pandangan, sehingga pada tahap ini isu kian meluas. Sesama nasabah mulai resah dengan keadaan Bank Century. Ketika mencapai pada tahap ini, tidak ditemukan adanya manajemen isu yang memadai. Ketika sudah bersangkutan dengan publik, ada baiknya diberlangsungkan komunikasi dua arah untuk pemberian informasi yang jelas. Sehingga, keresahan public dapat teredam sementara akibat kepuasan penerimaan informasi dari sumber yang kredibel. Komunikasi dua arah dapat dilakukan berupa call center untuk menanggapi berbagai keluhan dan keresahan yang datang.
Lima hari setelahnya, yakni 15 November 2008, issue life cycle berkembang kian pesat hingga menuju critical stage. Isu berkembang menjadi lebih populer karena media yang memberitakan cukup banyak. Hal ini akibat adanya respon yang diterima Bank Century dari publiknya. Pada tanggal tersebut, terjadi penarikan uang oleh masyarakat yang merupakan nasabah bank tersebut. Artinya perusahaan mengalami krisis kepercayaan. Pada stage ini dimungkinkan krisis telah terjadi. Maka, selain perlu meredam isu, organisasi juga dirasa perlu melakukan tindakan yang mampu menenangkan publik. Hal ini tentu saja tidak melewatkan akibat terpaan media dalam memberitakan isu Bank Century.
Pada kronologi selanjutnya yakni 21 November 2008 telah terjadi krisis akibat perkembangan isu yang tidak ditanggapi dengan baik. Ketidak mampuan perusahaan dalam menanggapi isu yang dihadapi berakhir dengan tindakan dari pemerintah. Adanya kebijakan public dengan muncul regulasi baru, seperti pemindahan alih Bank Century kepada LPS merupakan manajemen isu pada tahap critical stage (government relation). Selanjutnya, isu ini berada dalam posisi dormant stage, yakni organisasi berada dalam posisi “pasrah” terhadap solusi yang diberikan oleh pemerintahan tetapi akan memungkinkan untuk muncul kembali isu yang pernah terjadi. Baik itu isu utama maupun isu-isu yang muncul akibat pengaruh dari luar.
Kelanjutan kronologi yakni munculnya krisis yang menimpa perusahaan. Krisis yang diterima cukup menekan Bank Century. Materi ini akan dibahas pada subbab selanjutnya.
Isu yang muncul pada tahun 2005 hingga 2008 merupakan tahap awal tumbuhnya krisis yang akan berdampak dalam jangka waktu cukup lama. Dampak yang ditimbulkan isu tersebut tersebar hingga negeri tetangga dan masih teringat hingga tahun sekarang. Isu adalah sesuatu yang tidak bisa diselesaikan. Kebenaran dalam menindaki isu yakni resolving problem. Pemecahan masalah tidak dapat dilakukan berulang-ulang pada saat isu muncul. Perlu dipahami pula bahwa isu bukan hilang, hanya saja isu teredam untuk sementara sampai akhirnya akan ada suatu pemicu yang menyebabkan munculnya isu itu kembali. Maka, pemecahan masalah yang sama tidak akan mempan meredam isu dalam jangka waktu yang cukup lama.
 Kemunculan isu setelah sekian tahun juga terjadi pada kasus korupsi Bank Century. Kronologi selanjutnya yakni awal 2013 yang merupakan awal dari isu muncul hingga berujung pada krisis. Isu ini muncul akibat adanya masalah di awal tahun 2008 yang telah disebutkan. Dampak yang ditimbulkan bahkan terasa hingga lima tahun setelahnya. Akibat masalah tersebut, timbul pernyataan dari Deputi Gubernur Bank Indonesia  yakni Budi Mulya untuk memindahkan status Bank Century menjadi bank gagal sistemik. Pernyataan ini kemudian menimbulkan berbagai macam pertanyaan, seperti mengapa ada perubahan status tersebut padahal Bank Century tidak memiliki kriteria sesuai? Sehingga hal ini mendasari adanya penyalahan wewenang yang dilakukan oleh Budi Mulya selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia atas statement yang dikeluarkan. Banyaknya dugaan-dugaan secara hukum dilemparkan pada Budi Mulya, dan Bank Century dijadikan alat untuk kepentingannya sendiri. Isu ini menimbulkan banyak isu lainnya yang bermunculan. Isu terjadi akibat adanya ketidakseimbangan atau gap antara harapan dengan realita. Gap yang terjadi disini adalah suatu simbol pemimpin yang dipersepsi public sebagai suatu yang wibawa dan bertanggung jawab. Namun sayangnya, pemimpin dalam kasus ini tidak menggambarkan hal serupa, sehingga munculah sebagai suatu isu yang menarik untuk diangkat. Isu yang muncul tidak sesegera mungkin diredam, sehingga sangat besar kemungkinan adanya pemberitaan media yang fokus pada hal-hal berbau negatif. Mengingat bad news is a good news, maka media akan selalu mencari sesuatu yang hangat dan menyimpang dari seharusnya untuk dijadikan topik berita. Jika saja seorang PR mampu memberikan press conference atau pemberian komunikasi dua arah yang baik, pemberitaan media tidak  akan fokus pada hal-hal lainnya. Pemberitaan media yang cukup rajin dalam peliputan yakni kompas.com, headline yang bermunculan juga memiliki arahan yang negatif dan cenderung memojokkan pihak Bank Century maupun Bank Indonesia. Bad news yang diungkit oleh media tentunya gap persepsi masyarakat tentang pemimpin, terlebih Budi Mulya adalah seorang pemimpin instansi milik pemerintahan yang hubungannya sangat dekat dengan masyarakat. Maka, suatu isu seperti ini akan sangat susah dihindari jika sudah mulai menyebar dan terlalu lama dibiarkan.
6 Maret 2014 adalah satu tahun tepatnya isu penangkapan Budi Mulya oleh KPK terkait penyalahgunaan wewenang dana FPJP dan PMS sebesar 7 triliun yang dianggap merugikan negara. Kabar baiknya adalah, isu ini mampu bertahan satu tahun sampai akhirnya muncul kembali di kalangan media. Dugaan kuat isu ini teredam karena pemberitaan negatif terkait instansi pemerintah akan berakibat buruk pada pemerintahan pada saat itu, sehingga ditakutkan akan muncul isu-isu lainnya yang melibatkan pemerintahan dalam pengertian luas. Dugaan lainnya adalah waktu 12 bulan digunakan oleh pihak KPK untuk melakukan penyelidikan dan menetapkan status dari Budi Mulya dalam kasus ini. Pemberitaan yang muncul menjelaskan bahwa Budi Mulya menyebutkan beberapa nama yang menurutnya juga ikut membantu melancarkan tindak buruknya pada saat itu. Dalam tahap ini, kembali lagi isu pada tahap critical stage. Pemberitaan media besar-besaran, bahkan jika diakumulasikan dalam satu kasus ini mendapatkan pemberitaan media sebanyak sepuluh lebih dari portal media online yang berbeda-beda. Selain itu, munculnya pihak pro kontra juga terlihat dari sisi oposisi dan pemerintahan. Dugaan-dugaan yang dilemparkan adalah suatu jenis isu eksternal akibat aktifitas di luar organisasi. Tentu saja, reputasi perusahaan dipertaruhkan pada posisi ini. Apakah Bank Century bersama Bank Indonesia akan meredam isu atau membiarkan isu terus berlanjut hingga pada tahap krisis. Namun, tuduhan KPK adalah sesuatu yang tidak dapat dicegah oleh seorang praktisi PR. Maka, fungsi PR disini adalah relasi media, bagaimana pemberitaan media agar tidak terfokus pada kasus korupsi. Manajemen isu supaya media tidak tertarik untuk mengekspos isu korupsi secara terus menerus. Tindakan tegas perlu dilakukan, misalnya saja pergantian pemimpin yang lebih kredibel, mengadakan press conference untuk keterbukaan informasi. Sehingga media tidak memberitakan sesuatu yang belum tentu baik dan benar bagi perusahaan.
Namun tampaknya, kegiatan manajemen isu tidak terlihat baik pada kedua pihak (Bank Century dan Bank Indonesia). Pemberitaan media kian menyorot Budi Mulya, sosok pemimpin Bank Indonesia yang menyalahgunakan wewenang pada kucuran dana FPJP milik Bank Century. Pada bulan Juli hingga Desember, media tidak habis memberitakan info terbaru tentang status Budi Mulya sebagai tahanan KPK. Sehingga, munculah kembali isu ini dalam tahap critical stage. Tahap ini ditandai dengan pemberitaan media yang cukup banyak membahas perkembangan kasus korupsi Bank Century.
Tahun 2014 adalah tahun terakhir maraknya isu korupsi Deputi Gubernur Bank Indonesia. Pada tahun 2015, media tidak terlalu banyak menyoroti hal-hal demikian. Kemungkinan besar, hal ini terjadi karena adanya pesta rakyat pada saat itu. Media mulai mengalihkan perhatiannya pada sesuatu yang segar dan memiliki nilai berita terkini. Isu mulai teredam karena adanya hal-hal lain yang perlu diberitakan oleh media.
Hingga pada tahun 2018, rupanya isu korupsi Bank Indonesia pada Bank Century mulai mencuat kembali. Pada bulan April 2018, muncul terpaan media dari Jepang yang memberitakan kasus Century. Belum diketahui kepastiannya dan latar belakang dari media tersebut membahas Century, namun rupanya hal ini cukup membuat geram pihak Demokrat karena merasa terancam citranya. Perlu digaris bawahi, isu kembali muncul meskipun sudah tidak termuat oleh media sepanjang tiga tahun. Sepanjang analisa dilakukan, sebetulnya pihak Century adalah pihak yang mendapat kerugian cukup besar. Walaupun pada saat ini Century telah berganti nama menjadi Bank Mutiara karena adanya pembelian saham oleh J Trust ditahun 2014, tetap saja nama Century selalu tercatat sebagai kasus korupsi yang cukup viral selama sepuluh tahun ini. Kesalahan yang dibuat oleh Budi Mulya terletak pada instansi Bank Indonesia, namun framing media cukup unik untuk membuat citra instansi pemerintah – Bank Indonesia, tetap positif. Pembuatan nama kasus “Korupsi Bank Century” seolah memberi gambaran umum pada publik jika pelaku utama korupsi adalah pihak Bank Century. Sampai saat ini, belum ada klarifikasi yang jelas. Namun dapat dipastikan jika Bank Century belum melakukan rebranding dengan pergantian nama, tentu saja dampak yang dihasilkan oleh isu di akhir tahun 2005 tidak dapat dihindari. Pergantian nama bank adalah suatu kebijakan yang tepat untuk menghilangkan rasa shock publik akibat isu ekonomi dan isu korupsi yang berbelit dalam jangka waktu panjang. Pemberitaan media online Jepang membuat citra negara, citra pemerintahan SBY, dan citra Bank Century mengalami kemunduran. Sehingga perlu dilakukan manajemen isu kembali dengan pemecahan masalah yang lain (mengingat issue has to be resolved), karena sedalam apapun PR berusaha menutupi isu pastilah akan muncul kembali dengan berbagai faktor yang tidak terduga.



KRISIS dan MANAJEMEN KRISIS
Definisi krisis disampaikan oleh Duke &Masland (2002), Mitroff (2005), dan Kouzmin (2008) yakni situasi yang menyebabkan kerusakan fisik dan nonfisik, seperti peristiwa yang membahayakan jiwa manusia (meninggal atau luka-luka), financial cost, merusak system organisasi dan lingkungan secara keseluruhan, khususnya bagi korban, dan kerusakan reputasi organisasi (Kriyantono, 2015).  Kerusakan yang terjadi berupa nonfisik  seperti hilangnya sistem sosial, budaya, ekonomi, psikologis, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Ada beberapa karakteristik yang menandakan antara krisis dan isu yaitu, (1) peristiwa yang spesifik (Special Event), (2) krisis tidak dapat dihindari (Invitable), (3) krisis menciptakan ketidakpastian informasi, (4) Menimbulkan kepanikan dan keterkejutan, (5) Menimbulkan dampak positif atau negative bagi operasional organisas, (6) berpotensi menimbulkan konflik.
Secara umum, jenis dan sumber krisis  disebabkan melalui dua sumber, yakni dari dalam organisasi dan luar organisasi. Selain itu menurut Mitroff, 2001 dalam Kriyantono, 2015 terbagi menjadi dua yakni man-made yaitu krisis yang disebabkan kesalahan manusia, dan natural crisis yaitu krisis yang disebabkan factor alam. Secara luas, jenis dan sumber krisis akan dijelaskan pada rincian berikut:
1.      Krisis Teknologi, yaitu krisis yang disebabkan oleh kesalahan penggunaan teknologi
2.      Krisis Konfrontasi, yaitu krisis yang disebabkan oleh relasi buruk antara organisasi dan publik sehingga merangsang terjadinya konfrontasi. Misalkan adanya public yang mengekspresikan kemarahannya terhadap operasi organisasi.
3.      Krisis Malevolence, yaitu krisis yang disebabkan oleh perseorang atau kelompok yang mempunyai keingnan untuk menjatuhkan atau membahayakan organisasi.
4.      Krisis Manajemen dan Perilaku Karyawan, yaitu krisis yang terjadi karena kegagalan manajemen dalam melaksanakan tanggung jawabnya, contohnya: korupsi.
5.      Kekerasan di Lingkungan Kerja (Workplace Violence), yaitu segala bentuk kekerasan yang terjadi di lingkungan kerja
6.      Krisis Bencana Alam, yaitu krisis yang disebabkan oleh bencana alam yang memengaruhi aktivitas organisasi
7.      Krisis Produk, yaitu krisis yang diakibatkan oleh masalah pada produk
Adapun tahap terjadinya krisis yaitu:
-          Prakrisis (Pre Crisis), ketika situasi serius mulai muncul dan organisasi menyadarinya. Tanda-tanda ini dimungkinkan telah mengetahui tanda-tanda akan terjadinya krisis “pre crisis warning” dan ada baiknya jika pihak yang mengetahui segera mengambil tindak pencegahan.
-          Krisis (Acute Crisis), hal ini tidak akan terjadi jika menyediakan saluran komunikasi dua arah yang memungkinkan diterimanya feedback. Ketidakpuasan dapay disampaikan dalam bentuk opini, sehingga krisis tidak akan terjadi. Krisis akan terjadi ketika situasi sudah tidak dapat dimanajemen dengan baik oleh organisasi dan peristiwa ini menyebar luas ke luar organisasi.
-          Pascakrisis (Post-Crisis), ketika krisis sudah terjadi, ada baiknya organisasi/perusahaan melakukan berbagai upaya sehingga dapat memanajemen krisis dengan baik. Pada tahap ini, perlu diadakan recovery sebagai bagian untuk mengembalikan reputasi perusahaan kembali diatas.
Manajemen krisis adalah suatu aktivitas yang dilakukan sekali saja hanya saat terjadi krisis, yaitu dengan membuat perencanaan krisis (crisis plan) pada saat terjadi krisis (one only process). Aktivitas ini dilakukan sebagai upaya dalam membentuk kepercayaan publik, misalnya melalui kegiatan CSR, menghasilkan produk yang berorientasi pada kebutuhan publik termasuk produk yang ramah lingkungan. Manajemen krisis dilakukan dengan banyak hal:
a.)    Perencanaan krisis dan Tim Manajemen Krisis: Worst Case/Possible Scenario
Pada tahap ini , PR diminta untuk memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi di dalam perusahaan dan memikirkan bagaimana jalan keluarnya
b.)    Respon cepat dan tidak panik: Delay is deadly
Melakukan respon secepat mungkin dengan tujuan ketercukupan informasi terhadap public. Semakin sedikit informasi yang diketahui oleh public, akan tinggi pula tingkat dugaan public. Hal ini akan merugikan perusahaan, apabila public mulai panik dan mengeluarkan dugaan-dugaan di luar nalar. Maka, ketercukupan informasi adalah “center of variable” (Kriyantono, 2015)
c.)    Kepentingan Publik
Lakukan segala tindakan demi kepentingan public, terlepas benar atau tidak nya isu tersebut. Hal ini dimaksudkan sebagai prioritas utama perusahaan yakni stakeholders yang membantu lancarnya suatu perusahaan, termasuk masyarakat di dalamnya
d.)    Tindakan untuk harapan public
Ketahuilah keinginan public, apakah menuju sesuatu yang ingin diperbaiki ataukah pada status quo namun dengan backup plan lainnya.
e.)    Punya rencana komunikasi krisis
Seperti pengadaan crisis center, menjalin komunikasi dengan public terkait, dan menghindari upaya blaming terhadap pihak lain
f.)     Aspek Hukum: Winning the Battle but Losing the War
Pendekatan hukum terkadang kurang cocok untuk mengendalikan krisis. Mereka cenderung mengatakan no comment, menutupi diri dengan alasan hak privasi, mengkaitkan banyak persitiwa dengan hokum. Hal-hal seperti kadang menyebabkan ambiguitas, karena informasi tidak dapat seutuhnya diterima dengan penuh karena alasan hokum. Sekali lagi, dugaan-dugaan lainnya akan muncul jika tidak ada keterbukaan informasi.
g.)    Komitmen
Perbaikan produk untuk meyakinkan bahwa perusahaan tetap memberikan yang terbaik. Adanya tindakan evaluatif sebagai bentuk/respon terhadap krisis yang dihadapi.
ANALISA STUDI KASUS
            Dalam analisa studi kasus terhadap Bank Century, krisis rupanya muncul dua kali. Krisis pertama muncul pada tanggal 15 November 2013, yakni pada saat crisis stage issue muncul terkait Bank Century yang tidak dapat melaksanakan kemampuan likuiditasnya kemudian tak kunjung diatasi. Hal ini berbuah menjadi krisis yang ditandai berupa krisis kepercayaan public terhadap Bank Century yang dirasa tidak mampu lagi menjalankan fungsinya dengan baik. Publik internal atau dalam hal ini adalah nasabah dari Bank Century menarik uang mereka di Bank Century secepat mungkin agar tidak terkena dampak. Analisa krisis ini dapat diperkuat dengan karakteristik krisis yang sudah dijelaskan diatas. Pertama adalah muncul pada peristiwa spesifik yaitu saat Bank Century tidak mampu melaksanakan likuiditas. Kedua adalah karakteristik krisis tidak dapat dihindari. Respon publik yang secara tiba-tiba tidak dapat dihindari bahkan lebih buruknya menyebabkan kepanikan. Hal ini sudah mengindikasikan pada karakteristik krisis yang ketiga. Timbulnya dampak negative, seperti menurunnya citra positif Bank Century juga merupakan bentuk karakteristik krisis yang keempat.
Jika dilihat sumber dan jenis krisis, peristiwa yang terjadi pada akhir tahun 2008 ini termasuk kedalam krisis konfrontasi dan krisis produk. Konfrontasi terjadi akibat buruknya relasi Bank Century dengan nasabahnya. Jika saja manajemen isu dilakukan lebih awal, jauh sebelum terjadinya peristiwa “ketidak mampuan likuiditas”, mungkin nasabah (yang sebagai publiknya) tidak resah dan mendapatkan kepastian akan rekeningnya yang ada di Bank Century. Sayangnya, manajemen isu tidak tampak dan tidak mampu menghentikan praduga public terkait isu kesehatan perusahaan Bank Century, sehingga munculah konfrontasi. Krisis produk juga diwakili oleh peristiwa ketidakmampuan likuiditas bank, maka hal ini dianggap bahwa produk yang dihasilkan oleh Bank Century tentunya mengalami penurunan kualitas, seperti suku bunga dan pelayanannya. Publik bisa saja beranggapan ada sesuatu yang “rusak” di dalam perusahaan sehingga nantinya akan berimbas pada produk yang dihasilkannya pula. Walaupun tidak ada kesinambungan yang cukup kuat, namun isu dari Bank Century sudah cukup lama meresahkan nasabahnya, yakni terhitung mulai tahun 2005 hingga muncul kembali isu di tahun 2008 yang tidak kunjung diredam. Akibatnya, keresahan public yang muncul pada tahun 2005 kembali muncul pula pada tahun 2008. Perbedaannya terletak  pada bagaimana respon keresahan publik dari tahun 2005 dan tahun selanjutnya. Pada tahun kedua tentunya akan memiliki tingkat keresahan cukup tinggi, karena adanya pengalaman keresahan yang sama pada tahun 2005. Sehingga, keraguan public terhadap produk yang dihasilkan pada Bank Century sebenarnya juga beralasan dan bahkan pernah terjadi pada tahun 2005 namun tidak terlalu meresahkan seperti halnya di tahun 2008 saat krisis terjadi.
Manajemen krisis tidak tampak dilakukan oleh pihak Bank Century. Dari berbagai cara manajemen krisis yang direkomendasikan dalam buku Kriyantono, 2015 seperti crisis center, respon cepat yang seharusnya dilakukan, tindakan sesuai harapan public dan lain sebagainya tidak dilakukan oleh Bank Century. Lain halnya pada tahun 2013, yakni dipindahtangankan nya kepemilikan Bank Century kepada LPS milik pemerintah. Hal ini juga termasuk manajemen krisis karena Bank Century dirasa tidak mampu melaksanakan otonom kekuasaannya sendiri, sehingga harus ada campur tangan dari pemerintah. Baik itu dari segi regulasi maupun kebijakan seperti controlling yang dilakukan oleh pemerintah. Ada baiknya jika Bank Century mengadakan crisis center terutama untuk para nasabahnya terlebih dahulu sebagai prioritas utama stakeholder.
Krisis lainnya yang terjadi yakni dituduhnya Budi Mulya selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia sebagai pelaku korupsi akibat penyalahgunaan wewenangnya dan dianggap melawan hokum. Hal ini dinamakan krisis akibat karakteristiknya. Tuduhan KPK adalah bukan sesuatu yang dapat dihindari dan merupakan suatu fenomena yang cukup mengejutkan. Menimbulkan kepanikan dan adanya dampak negatif bagi instansi Bank Indonesia. Krisis korupsi ini muncul sebagai jenis Krisis Manajemen dan Perilaku Karyawan, hal ini dipicu oleh tindakan karyawan tidak sesuai keinginan dan bahkan melawan peraturan ataupun hukum yang berlaku. Manajemen krisis pada hal ini dapat dilakukan menggunakan Teori Apologia. Perusahaan bisa mengucapkan permintaan maaf kepada publik karena merasa dikecewakan, sebagai sosok pemimpin, Budi Mulya tidak berperilaku seharusnya. Selain itu, praktisi PR juga bisa melakukan press conference sebagai maksud melakukan klarifikasi terhadap kejadian terkait dan mengatakan bahwa tindak korupsi tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab instansi karena dilakukan atas kepentingan pribadi. Maka, perusahaan juga bisa melakukan tindak advokasi demi mempertahankan reputasi perusahaan. Dalam studi kasus ini, manajemen krisis tidak terlihat dengan baik, mungkin hanya dilakukan sebatas respon cepat dan tidak panik. Keterbukaan informasi adalah hal yang penting dilakukan supaya tidak ada pemberitaan media yang keluar dari jalurnya (faktanya). Manajemen krisis ini juga dimaksudkan agar media tidak terus menerus mengekspos berita sebagai kebutuhan informasi, karena merasa berita sebelumnya kurang sehingga harus meliput kembali dengan harapan informasi yang didapatkan lebih banyak dari liputan sebelumnya. Jika manajemen krisis dapat dilakukan dengan baik, hal utama yang mungkin didapatkan adalah pemberitaan media akibat dampak buruk krisis kian menurun, karena mereka merasa telah tercukupi dengan adanya informasi yang didapat saat press conference.


DAFTAR PUSTAKA
·            Kriyantono, R. 2015. Public relations, Issue & Crisis Management: Pendekatan Critical Public Relations, Etnografi Kritis & Kualitatif. Jakarta: Kencana
·            Anonim. 2008. Ini Dia Fakta Baru Bank Century! Diakses pada 19 September 2018, tersedia di: https://nasional.kompas.com/read/2008/12/09/18300753/ini.dia.fakta.baru.bank.century
·            Suprapto, H. 2009. Kronologi Merger Bank Century. Diakses pada 19 September 2018, tersedia di: https://www.viva.co.id/berita/bisnis/110128-kronologi-merger-bank-century
·            Anonim. 2018. Data Fakta Ujung kasus Bank Century. Diakses pada 19 September 2018, tersedia di: http://espospedia.solopos.com/read/20180411/487/909831/data-fakta-ujung-kasus-bank-century
·            Iskan, D. 2018. Bank Century Lagi Hidup Mati. Diakses pada 19 September 2018, tersedia di: https://www.indopos.co.id/read/2018/09/18/149974/bank-century-lagi-hidup-mati
·            Movanita, A. 2015. Kelanjutan Kasus Century di KPK Masih Diperdebatkan. Diakses pada 19 September 2018, tersedia di: https://nasional.kompas.com/read/2015/06/30/06382541/Kelanjutan.Kasus.Century.di.KPK.Masih.Diperdebatkan
·            Maaruf, M. 2008. Pengambilalihan Century Tanda Protokol Krisis Diaktifkan. Diakses pada 19 September 2018, tersedia di: https://economy.okezone.com/read/2008/11/22/277/166725/pengambilalihan-bank-century-tanda-protokol-krisis-diaktifkan

·             



You May Also Like

0 pendapat