Analisis Kronologi Hoax Ratna Sarumpaet Studi Psikologi Komunikasi

by - 7:12 PM



Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester
 Mata Kuliah Psikologi Komunikasi
Dosen Pengampu : Isma Adila, S.I.Kom., M.A




                                    Oleh:
Dymi Marsa Levina C                    165120200111024
Revy Tiara Zahra                           165120201111047
Kharismanisa C                              165120201111087
Dhinar Adi Respati                         165120207111016
Amiera Chalid Ghamry                  165120200111050           


Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Malang
2018

KRONOLOGI KASUS
ü  2 Oktober 2018 pukul 09.00
Kabar penganiayaan Ratna Sarumpaet pertama kali tersebar lewat medsos
Unggahan foto Ratna Sarumpaet dengan kondisi wajah bengkak dan mata tidak dapat terbuka lebar, dan dahinya terlihat kerutan seperti bekas diperban oleh akun facebook bernama Swary Utami Dewi sekitar pukul 09.00 WIB. Pengunggah juga menyertakan caption sebagai berikut; : "Apakah karena berbeda maka seseorang berhak dipukuli? Simpatiku buat Ratna Sarumpaet. Katakan tidak untuk segala bentuk kekerasan. #2019tetapwaras."
ü  2 Oktober 2018 pukul 10.51
Adanya konfirmasi pembenaran kasus penganiayaan. Pukul 10.51 WIB politisi Partai Gerindra Rchel Maryam mengeluarkan konfirmasi pertama melalui twitternya @cumrachel, ia menyebut bahwa kejadian penganiayaan Ratna Sarumpaet benar adanya.. Ratna sendiri memang salah satu anggota baru Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi bersama Rchel Maryam.
ü  2 Oktober 2018 malam hari
Prabowo menemui Ratna secara tertutup dan tidak bisa diliput oleh media setelah berita penganiayaan tersebar. Prabowo menggelar jumpa pers pada malam harinya di kediamannya, Kertangera. Prabowo yakin adanya kepentingan politik yang melatar belakangi kasus penganiayaan Ratna dikarenakan tidak ada barang berharga ataupun uang yang hilang pasca penganiayaan yang dialami Ratna. Selain itu, Ratna sempat mengatakan kepada Prabowo bahwa ia sempat mendapat ancaman terkait sikap politiknya.
ü  3 Oktober 2018
Pihak kepolisian segera menyelidiki kasus penganiayaan Ratna Sarumpaet dan menemukan kejanggalan pada kasusnya yang disampaikan pada konferensi pers. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Nico Afinta mengatakan, polisi telah mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa Ratna menjalani rawat inap di rumah sakit kecantikan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada 21 September. Ratna masuk sejak pukul 17.00 WIB sore. Hal ini tidak sinkron dengan cerita Ratna yang mengaku mengalami penganiayaan di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, pada 21 September 2018 malam.
ü  3 Oktober 2018 sore hari
Ratna menggelar juma pers di kediamnnya setelah polisi memberikan keterangan tentang kejanggalan kasus yang terjadi. Ratna mengakui bahwa tidak ada penganiayaan yang dialami. Wajah Ratna yang lebam dikarenakan efek operasi kecantikannya. Ia mengaku berbohong kepada anak-anaknya bahwa muka lebamnya disebabkan oleh penganiayaan oleh beberapa orang karena Ratna tidak ingin anak-anakny tahu apa penyebab sebenarnya. Ratna mengaku bahwa kebohongan yang dilakukan hanya untuk keluarganya saja, ia tidak menyangka bahwa berita tersebut sudah viral. Ratna pun meminta maaf kepada Prabowo Subianto dan pihak-pihak yang dirugikan atas kebohongannya. "Melalui forum ini saya sangat memohon maaf kepada Pak Prabowo yang kemarin dengan tulus membela saya, membela kebohongan yang saya buat," kata Ratna.
ü  3 Oktober 2018 malam hari
Prabowo-Sandi menggelar jumpa pers kembali didampingi tim pemenangannya untuk menanggapi kebohongan Ratna. Prabowo meminta maaf karena merasa telah ikut menyebarluaskan berita penganiayaan Ratna yang ternyat hanyalah kebohongan belaka. rabowo meminta Ratna mundur dari Badan Pemenangan Prabowo-Sandi. Ia juga mempersilahkan kepolisian untuk memproses Ratna secara hukum.

ü  4 Oktober 2018
Ratna akhirnya ditangkap pihak kepolisian di Bandara Soekarno-Hatta saat hendak terbang ke Cile. Ternyata, pihak kepolisian telah mengeluarkan surat pencekalan terhadapnya.


ANALISIS
1.      PSIKOLOGI KELOMPOK
a.      Klasifikasi Kelompok Sekunder
Kelompok sekunder diartikan dengan kedekatan antar anggota yang tidak begitu dalam. Sistem komunikasi yang terjalin hanya sebatas garis luar tanpa mengetahui karakter spesifik masing-masing anggotanya. Di dalam kelompok ini, konteks atau pesan di dalam komunikasi lebih diutakaman dibanding dengan relasi yang dijalin antar anggota. Kelompok yang dianalisis dalam studi kasus ini yakni kelompok dengan pandangan politik yakni tim pemenangan Prabowo-Sandi. Melihat dari bagaimana Prabowo menanggapi isu yang diungkapkan oleh Ratna, dirinya harus melakukan pertemuan tatap muka secara privasi. Hal ini menandakan adanya kedangkalan dan keterbatasan (Rakhmat, 2012) komunikasi sehingga tidak mengetahui seluk beluk anggota lainnya. Karakteristik kelompok sekunder juga terlihat pada saat Prabowo dan Ratna mengadakan jumpa pers pada waktu yang berbeda, mengutip jumpa pers yang dilakukan oleh Ratna berbunyi "Melalui forum ini saya sangat memohon maaf kepada Pak Prabowo yang kemarin dengan tulus membela saya, membela kebohongan yang saya buat.” Selain melalui media, diksi yang digunakan oleh Ratna tergolong komunikasi formal. Bukti lainnya diperkuat dengan hubungan atau relasi yang dijalin oleh Prabowo dengan Ratna, dengan perhatian utamanya yakni konteks. Ketika Ratna terbukti menyebarkan kebohongan, Prabowo dengan tegas menyatakan bahwa Ratna dipersilahkan keluar dari tim pemenangannya dan bisa menjalani proses penyelidikan polisi. Sehinggga, keberadaan dan relasi antara Prabowo-Ratna hanyalah sebatas konteks komunikasi yakni benar-salah atau menguntungkan-merugikan. 
b.      Konformitas Kelompok
Perilaku dominan yang mempengaruhi anggota kelompok didukung oleh dua faktor yakni faktor personal dan faktor situasional (Rakhmat, 2012). Faktor personal meliputi usia, jenis kelamin, emosional, otoritarianisme, dan kecerdasan. Sedangkan faktor situasional seperti situasi haruslah bersifat jelas, bagaimana penyampaian penilaian terlihat meyakinkan, karakteristik sumber pengaruh, dan tingkat kesepakatan kelompok. Prabowo mendatangi rumah Ratna dan melakukan jumpa pers sebagai sebagai salah satu perwakilan dari kubunya. Prabowo bersama rekan-rekannya pada saat itu melakukan pertemuan dengan Ratna sebelum diadakan jumpa pers. Prabowo berusaha meneguhkan persepsinya melalui pertemuan privasi tersebut sehingga munculah statement yang disampaikannya dalam jumpa pers seperti “adanya kepentingan politik yang melatar belakangi kekerasan ini”. Dalam penelitian Moore, 1921 suatu pandangan yang dirasa benar oleh individu tersebut akan berubah seketika ketika ada tindakan-tindakan di dalam kelompok tersebut dengan pilihan atau pandangan yang berbeda walaupun dirasa salah (Rakhmat, 2012). Begitupula dengan Prabowo yang sangat yakin dengan kalimatnya pada jumpa pers melihat faktor situasi yang cukup jelas berupa lebam di wajah Ratna, karakteristik sumber yakni tokoh politik dyang mempunyai kredibilitas tinggi. Serta ada pula faktor personal berupa emosional, seperti rasa simpati yang dimiliki Prabowo dengan melihat kondisi Ratna saat itu. Karena itulah yang semakin memperkuat statement anggota menjadi cukup dominan dan membuat suatu konsesus sesuai dengan keputusan anggota dominan tersebut.
c.       Dinamika Kelompok: Social Facilitation
            Psikologi kelompok berusaha memahami apa yang dimaksud atau dirujuk oleh kelompok tersebut (Walgito, 2007) baik dalam bentuk verbal maupun non verbal. Kelompok memiliki dampak terhadap individu tersebut begitu pula sebaliknya. Norman Triplett (Johnson dan Johnson, 2000) dalam Walgito 2007 menjelaskan dinamika kelompok yang mampu meningkatkan dan menghambat performa individu itu sendiri. Antar anggota kelompok menurut teori milik Fiedler 1967 (Walgito, 2007) memiliki ketergantungan dan rasa persamaan nasib terhadap anggota kelompok lainnya. Dalam studi kasus Ratna Sarumpaet, sebuah kelompok yakni kubu pandangan politiknya memiliki efektifitas tinggi dalam meningkatkan performa Ratna sendiri. Dibuktikan dengan self-esteem Ratna dalam mengungkapkan statement tentang penganiayaan yang dialaminya. Meskipun, pada akhirnya hal tersebut terbukti tidak benar, performa Ratna terlihat begitu meyakinkan terlebih menyangkut pautkan atas nama politik. Hal ini tentu tidak jauh dari status Ratna sendiri yang tergabung dalam kubu politik, sehingga dirinya merasa akan memiliki dukungan di belakangnya ketika mengatasnamakan politik. Kembali lagi melihat persamaan nasib yang diungkapkan Fiedler, Ratna memanfaatkan hal tersebut sehingga nantinya muncul dukungan-dukungan bagi dirinya. Tidak heran jika Ratna sendiri sangat percaya diri untuk mengungkapkan hal tersebut.
            Interaksi Ratna Sarumapet dalam kelompok kubu pandangan politik alias Tim Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi memiliki beberapa kebutuhan. Dalam teori psikoanalisis FIRO (Fundamental Interpersonal Relations Orientation) pola hubungan ini dijelaskan dalam tiga kebutuhan (Walgito, 2007) diantaranya inklusi, kontrol, dan afeksi. Berdasarkan studi kasus diatas, Ratna Sarumpaet termasuk dalam kebutuhan inklusi dengan perilakunya yang menonjol. Perilaku ini kemudian mendapatkan banyak perhatian dan hubungan emosional seperti simpati sehingga menjadi kebutuhan afeksi. Hubungan ini terlihat dari cuitan twitter Swary Utami Dewi terhadap belas kasihannya pada Ratna Sarumpaet sebagai korban kekerasan fisik karena perbedaan pandangan. Tak hanya itu, kebutuhan afeksi Ratna muncul dari bentuk simpati Prabowo yang mendatangi kediaman Ratna serta melakukan jumpa pers. Sehingga, selain adanya kebutuhan inklusi, kebutuhan afeksi dari Ratna nampaknya terpenuhi. Sayangnya, pada akhir kronologi Prabowo menegaskan agar Ratna mundur dari tim pemenangannya. Menurut teori FIRO sendiri, hal ini dinamakan reciprocal incompability karena terjadi gap harapan pada perilaku Ratna yang ternyata terbukti bersalah.
d.      Peran
Profil Ratna sebagai salah satu anggota tim pemenangan pasangan Prabowo-Sandi, merupakan peran bagi dirinya untuk memberikan pencitraan bagaimana sebaiknya berperilaku.  Perilaku Ratna mencerminkan bagaimana kelompok membentuk karakter dirinya. Dilihat dari kasus hoax dari Ratna Sarumpaet bahwa dirinya belum mencerminkan dan diharapkan (Sarwono dan Meinarno, 2009) berperilaku sebagaimana dirinya menjalankan posisi tertentu dalam kelompoknya yakni pemenangan pasangan Prabowo-Sandi. Peran juga berfungsi mengarahkan tingkah lakunya (Sarwono dan Meinarno, 2009). Operasi kecantikan adalah kebutuhan tersier dari dirinya. Konflik dalam diri terjadi saat Ratna salah memberitakan kebohongan bahwa operasi kecantikan diartikan sebagai kekerasan. Ratna menyampaikan hal tersebut dengan embel-embel kekerasan dan politik. Posisi Ratna saat itu seolah ingin mendapatkan payung perlindungan dari kelompoknya yang bergerak di bidang politik. Permasalahannya yakni ketika publik mendapati berita kebohongan Ratna, seketika publik juga mempertanyakan kredibilitas Ratna sebagai tokoh politik tim pemenangan Prabowo Sandi. Pada saat inilah kemudian peran  yang diharapkan tidak berjalan dengan baik.
e.       Interdependensi Sosial
Tokoh Psikologi Gestalt, Kurt Koffka menyampaikan kelompok sebagai sebuah a dynamic whole (Walgito, 2007), yakni variasi atau keberagaman perilaku antar anggota dalam kelompok. Dikemukakan oleh Kurt Lewin bahwa interdependensi antaranggota kelompok membawa perubahan status anggota kelompok sendiri serta keadaan instrinsik dalam kelompok akan memotivasi dalam mencapai tujuan bersama (Johnson dan Johnson, 2000 dalam Walgito, 2007). Interdependensi sosial terjadi dalam kasus Ratna Sarumpaet berupa perilaku anggotanya, Seperti cuitan Twitter Swary Utami Dewi tentang simpati kekerasan Ratna Sarumpaet, pembenaran kasus melalui twitter milik Politisi Gerindra, Rachel Maryam, serta kunjungan Prabowo ke rumah Ratna. Ketiganya merupakan anggota kelompok tim pemenangan Prabowo-Sandi dengan interdependensi cukup kuat. Terlihat dalam kecepatan arus informasi ketiganya dalam menanggapi salah satu anggota yang ‘mengalami kekerasan’. Selain itu, ketiganya berusaha untuk mencapai tujuan bersama yakni keadilan untuk Ratna Sarumpaet. Sehingga, hasil dari individu semuanya tergantung bagaimana tindakan individu di dalam kelompok tersebut.
Tindakan interdependensi kelompok memiliki tiga kemungkinan yang melatar belakangi yakni (a) perbuatan yang meningkatkan hasil pada pihak lain, (b) menghambat hasil pihak lain, dan (c) tanpa efek menghambat atau meningkatkan pihak lain. Kategori dalam studi kasus ini cukup rumit dengan liku-liku kebenaran statement mereka. Ketiga kolega Ratna sebenarnya melakukan latar belakang untuk meningkatkan hasil pada pihak lain. Ketiganya membutuhkan kejelasan serta keadilan dalam kasus ini. Swary Utami Dewi mengutip “Katakan tidak untuk segala kekerasan #2019tetapwaras”. Selain itu jumpa pers yang dilakukan oleh Prabowo yang meyakinkan audiens bahwa motif kekerasan adalah politik, sehingga diharapkan kasus ini menjadi viral issues untuk kemudian mendapatkan dukungan masyarakat tentang tindak kekerasan. Namun, dari sisi Ratna Sarumpaet sendiri ketika ditemukan pihak polisi bahwa kasusnya terbukti hoax, maka interdependensi yang dilakukan Ratna yaitu menghambat hasil pihak lain. Dirinya justru memberikan citra yang buruk terhadap Prabowo-Sandi sebagai calon pada pilpres mendatang. Sesuai dengan definisi peran dalam kelompok bahwa setiap individu yang berada pada posisi tertentu sudah tahu apa yang diharapkan darinya. Mengutip Baron dkk, 2008 dalam  Sarwono dan Meinarno, 2009 bahwa “…. Sets of behaviours that individuals (or group of individuals” occupying specific positions within a group are expected to perform”. Sehingga, dirinya justru membawa dampak buruk bagi pasangan Prabowo-Sandi, yang menghasilkan opini publik bahwa Prabowo mendukung terjadinya hoax.


2.      SISTEM KOMUNIKASI MASSA
            Berdasarkan pengertian efek komunikasi massa dari Jalaluddin Rakhmat (2012), fenomena HOAX  Ratna Sarumpaet terkait penganiayaan terhadap dirinya cukup memiliki efek yang besar. Pasalnya, audiens mendapat informasi, mengubah sikap dan menggerakkan perilaku. Terbukti dari cuitan Rachel Maryam yang membuat pemberitaan tersebut viral. Sebelum cuitan dari Rachel Maryam, informasi terkait penganiayaan yang dikabarkan telah dialami Ratna Sarumpaet sempat beredar melalui akun facebook Swary Utami Dewi. Rachel Maryam dalam kasus ini mendapatkan informasi bahwa Ratna Sarumpaet mengalami penganiayaan, sebelumnya mungkin Rachel Maryam tidak memiliki simpati sebesar ketika dirinya mendapati bahwa Ratna Sarumpaet mengalami penganiayaan. Hal ini  dibuktikan dengan cuitan yang ditulisnya, selain membuktikan adanya perubahan sikap, cuitan tersebut juga membuktikan adanya perubahan perilaku oleh Rachel Maryam.
            Efek komunikasi massa terbagi menjadi beberapa dimensi, salah satunya adalah efek kognitif komunikasi massa. Melalui keberadaannya, media massa menyuguhkan informasi yang ada di sekitarnya. Informasi ini mengandung ambiguitas karena media massa sendiri cenderung menyuguhkan apa yang ingin dilihat oleh audiens sekaligus membentuk citra dan persepsi. Media massa memiliki kuasa penuh atas isu apa yang akan diberitakan dan bagaimana cara pemberitaannya. Wewenang ini yang menjadikan media massa memiliki efek kognitif pada audiensnya. Karena, audiens mendapat pengetahuan melalui media massa dan terdorong untuk mengkaji informasi yang diperolehnya melalui proses kognitif.
            Tersiarnya kabar tentang penganiayaan yang diduga dialami oleh Ratna Sarumpaet tentunya memberikan informasi kognitif bagi audiens sebagai fenomena yang baru saja terjadi. Apabila audiens menerima informasi tersebut dan mempertanyakan apakah informasi terkait dugaan penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet merupakan realita atau hanya sekedar gosip belaka, maka komunikasi massa memiliki efek kognitif terhadap audiens. Pemberitaan ini sendiri disikapi secara kognitif oleh beberapa politisi di Indonesia, salah satunya adalah Prabowo Subianto yang kemudian menjadwalkan pertemuan dengan Ratna Sarumpaet untuk mengetahui kebenaran dari pemberitaan.
            Selain efek kognitif, komunikasi massa juga menimbulkan efek afektif. Efek ini berkesinambungan dengan efek kognitif karena menurut Asch dalam Rakhmat (2012), semua sikap bersumber dari informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Secara singkat, sikap ditentukan oleh citra. Efek afektif komunikasi massa memperkokoh kecenderungan yang sudah ada. Media massa tidak mengubah pendapat, namun mempengaruhi penonjolah suatu isu di atas isu yang lain. Pemberitaan terkait Ratna Sarumpaet ini mungkin saja merupakan isu yang dengan sengaja ingin lebih ditonjolkan dari isu lain. Terbukti ketika pada akhirnya Ratna Sarumpaet menyelenggarakan konferensi pers yang membeberkan bahwa pemberitaan dugaan penganiayaan pada dirinya adalah kebohongan belaka.
Namun, pada awal pemberitaan baru muncul, tak sedikit pula masyarakat yang percaya. Pasalnya, Ratna Sarumpaet memiliki citra yang sangat menonjol di dunia politik. Kancahnya sebagai salah satu aktivis yang kontroversial mendorong kepercayaan bahwa mungkin saja memang terdapat oknum-oknum yang tega melakukan penganiayaan terhadapnya untuk maksud-maksud tertentu. Apabila kita gali lebih mendasar lagi, kepercayaan bahwa penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet benar adanya dapat didasari oleh keyakinan bahwa penganiayaan merupakan tindakan yang keji. Sehingga, empati yang timbul terhadap Ratna Sarumpaet yang dikabarkan mengalami penganiayaan lebih menonjol ketimbang pertanyaan akan kebenaran dari berita itu sendiri.Melalui fenomena ini dapat kita simpulkan bahwa efek dari komunikasi massa tidak langsung mengubah sikap, namun dimulai dari mengubah citra yang mendasari sikap.



DAFTAR PUSTAKA
Sarwono, S.W dan Meinarno, E.A. (2009). Psikologi Sosial. Salemba Humanika: Jakarta
Walgito, B. (2007). Psikologi Kelompok. CV Andi Offset: Yogyakarta
Rakhmat, J. (2013). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
 Imanulhaq, A. (2018). Kronologi Lengkap, Perjalanan Ratna Sarumpaet Sebar Hoax hingga Ditangkap di Bandara. Diambil dari http://jateng.tribunnews.com/2018/10/05/kronologi-lengkap-perjalanan-ratna-sarumpaet-sebar-hoax-hingga-ditangkap-di-bandara. Diakses pada Kamis, 6 Desember 2018 pukul 12.25 WIB
Ihsanuddin. (2018). Kronologi Drama Kebohongan Ratna Sarumpaet. https://nasional.kompas.com/read/2018/10/04/09114291/kronologi-drama-kebohongan-ratna-sarumpaet. Diakses pada Kamis, 6 Desember 2018 pukul 12.20 WIB




You May Also Like

0 pendapat